Budi Pekerti (2023) : Dua Dunia Masyarakat Urban
Budi Pekerti (2023) : Dua Dunia Masyarakat Urban
Penulis : Dimas Ramadhiansyah
Masyarakat urban, sebagai konsep yang telah menjadi fokus utama dalam banyak kajian sosiologis dan antropologis sepanjang sejarah modernitas, menandai pergeseran sosial yang signifikan dalam perkembangan manusia. Istilah "urban" sendiri merujuk pada kota, suatu wilayah yang dicirikan oleh kepadatan populasi yang tinggi, keberagaman sosial dan budaya, serta kompleksitas struktural yang menggambarkan dinamika kehidupan yang beragam dan padat. Pada dasarnya, kota-kota adalah pusat-pusat kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya, yang menarik orang-orang dari berbagai latar belakang untuk bertemu, bekerja, dan hidup bersama.
George Ritzer (1995) mengatakan bahwa perkembangan teknologi dan urbanisasi telah mengubah lanskap masyarakat secara signifikan. Transformasi ini tidak hanya mengubah fisik kota-kota menjadi pusat kegiatan ekonomi dan budaya yang penting, tetapi juga mempengaruhi cara individu-individu berinteraksi, bekerja, dan hidup dalam masyarakat tersebut. Namun, ketika kita memandang kehidupan di dalam masyarakat urban, kita tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa dualitas hadir di dalamnya.
Dua bagian dari kehidupan manusia berada dalam takaran sisi gelap dan sisi terang, sisi baik dan sisi buruk, atau sisi harapan dan sisi ketakutan yang seolah membuat manusia berada pada jalan tengah. Berkembangnya manusia dan masyarakatnya kedalam fase yang semakin modern ini tentu semakin membuat kita berada dalam dilema kehidupan, “tentang bagaimana kita memilih jalan seperti apa yang akan kita lakukan”. Salah sedikit bisa jatuh, salah sedikit bisa gagal.
Pertanyaannya, bagaimana seharusnya manusia hidup dalam dunia ini? Apakah kita harus memilih antara satu sisi atau yang lainnya? Ataukah ada jalan tengah yang memungkinkan kita untuk menggabungkan dari kedua sisi tersebut?
Budi Pekerti (2023) mungkin hanyalah sekelebat representasi yang kita lihat saat ini. Ketika dunia semakin modern, ketika dunia semakin terbuka, urban-urban yang ada dalam kehidupan kita semakin liar dalam bertindak dan bersikap. Sebut yang lainnya salah satu drama dari negeri gingseng yang cukup populer tahun lalu “Celebrity (2023)”, yang menyoroti bagaimana sulitnya menjalani kehidupan di media sosial. Atau film dokumenter buatan Jeff Orlowski “The Social Dilemma (2020)”, yang membawakan bagaimana kehidupan di era digital pada konsekuensi yang berat terhadap kita sebagai individu dan masyarakat.
Jika ditelisik lebih dalam, nyatanya, masyarakat kita sekarang berada dalam posisi yang sama. Batasan bagaimana kita bersikap sudah tidak lagi memiliki titik batas yang jelas (atau bahkan cenderung semu). Lanskap kehidupan yang kian hari semakin terperangkap pada digitalisasi membuat kita cenderung melupakan tingkah laku dan adab kita dalam keseharian. Apakah kita harus menjadi sepenuhnya terbuka terhadap teknologi dan modernisasi, ataukah kita harus mempertimbangkan kembali batas-batas yang perlu kita tegakkan demi kebaikan bersama?
Ambiguitas Kehidupan Urban
“Ah su-wi” - Prani dan ‘Umpatannya’
Bu Prani, seorang guru Bimbingan Konseling (BK) legendaris di salah satu SMP di Yogyakarta, terkenal dengan metode “Refleksi”-nya dalam menangani murid bermasalah, dicalonkan untuk menjadi wakil kepala sekolah baru berkat sifat dan caranya mengajar. Namun, masalah datang ketika video yang menampilkan Bu Prani sedang marah-marah di pasar tersebar di media sosial.
Bu Prani tertangkap kamera sedang meluapkan protesnya pada seseorang yang menyela antrian di lapak kue putu. Rekaman dari orang-orang di pasar langsung tersebar di media sosial dan menghancurkan reputasi Prani.
Warganet menilai Bu Prani tidak pantas untuk seorang guru, mengkritiknya tanpa mempertimbangkan konteks sebenarnya. Meskipun dirinya tidak berbicara kasar, tetapi tindakannya diputarbalikkan dalam narasi media sosial. Akibatnya, ia menghadapi ancaman kehilangan pekerjaannya sebagai guru BK dan juga wakil kepala sekolah.
Bagi Giddens (2018), masyarakat urban adalah suatu kelompok masyarakat yang lahir atas proses modernisasi dan paling dekat pada dekade akhir abad ke-20, menikmati masa eksistensinya “di tengah peralihan” dengan segala kemajuan dan tantangan yang ada. Dalam konteks ini, dua sudut pandang dari masyarakat urban yang kompleks dan ambivalen menjadi sangat relevan.
Karenanya, kita mungkin akan melihat sisi positif dari sosok Bu Prani, seorang guru yang dipandang sebagai pilar moralitas dan kepribadian yang baik di masyarakat. Namun, di sisi lain, kita juga disuguhi oleh realitas yang menunjukkan bagaimana reputasi seseorang dapat hancur dengan cepat terlebih saat ini kehidupan kita yang berdampingan dengan era media sosial. Perubahan sosial yang cepat, tekanan untuk selalu tampil sempurna, dan kemudahan menyebarkan informasi melalui media sosial adalah beberapa faktor yang dapat mengubah persepsi masyarakat dalam sekejap.
Kant (1998) menjelaskannya lewat pendekatan deontologi. Pendekatan ini menyoroti bagaimana manusia dihadapkan pada kewajiban moral yang bersifat mutlak dan universal. Deontologi menekankan bahwa tindakan moral harus didasarkan pada kewajiban yang bersifat mutlak dan universal, bukan pada konsekuensi atau hasil dari tindakan tersebut. Tindakan moral dipandu oleh kewajiban yang bersifat mutlak, dan individu harus bertindak sesuai dengan prinsip moral yang benar.
Maka, apakah tindakan bu Prani adalah tindakan mutlak yang berusaha untuk menegakkan aturan yang adil dan berperilaku sesuai dengan integritasnya?
Gambar 1. Adegan saat bu Prani marah dipasar
(Sumber : Film Budi Pekerti (2023))
Narasi ini mungkin akan didasarkan pada prinsip keadilan dan ketertiban, dengan mencoba menegakkan ketidakadilan seperti menyela antrian. Sebagai seorang guru dan anggota masyarakat, Bu Prani merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menegakkan norma-norma sosial yang adil. Ia mungkin merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menegakkan norma-norma sosial yang adil dan mengajarkan nilai-nilai moral kepada orang lain.
Namun sebaliknya, sosok-sosok “di belakang layar” inilah yang bertindak tidak etis. Kant menekankan bahwa individu, termasuk Bu Prani, memiliki hak untuk dihormati dan tidak dijadikan objek penilaian yang tidak adil. Dalam kasus ini, penyebaran video Bu Prani di media sosial menyebabkan dirinya diperlakukan sebagai objek untuk dinilai oleh masyarakat secara tidak adil, tanpa mempertimbangkan konteks atau kebenaran sebenarnya dari tindakannya.
Kompleksitas lain yang tergambar adalah bagaimana garis batas dualitas itu dapat tercipta. Sebuah teknik pengambilan kamera yang sering kita tahu yaitu “blurred” mampu menunjukkannya. Saat adegan Bu Prani di pasar, kamera memberikan fokus tajam pada wajahnya yang marah, menyoroti ekspresinya dan niat moralnya untuk menegur ketidakadilan. Disekelilingnya, berlatarkan para pengunjung pasar lain yang seolah “menodongkan” ponsel untuk merekam aksi bu Prani.
Teknik "blurred" atau pengaburan dalam sinematografi sering digunakan untuk menekankan subjek utama di tengah latar belakang yang tidak fokus. Thompson dan Bowen (2009) dalam bukunya Grammar of the Shot menjelaskan bahwa fokus seperti ini menjadi teknik terbaik yang dapat membuat seolah transisi fokus kita pada satu subjek menuju latar belakangnya, seolah mewakili perubahan persepsi kita.
Ketika kamera menyorot dengan tajam ekspresi Bu Prani, penonton dipaksa untuk memperhatikan emosi dan motivasi karakternya. Dengan ekspresi marah namun penuh tekad, ia menjadi pusat perhatian. Latar belakang yang blur, diisi oleh orang-orang yang merekam aksi Bu Prani dengan ponsel mereka, menggambarkan realitas media sosial dan penghakiman publik yang seringkali tidak adil. Orang-orang di pasar menjadi anonim dan tidak jelas, memperlihatkan bagaimana masyarakat bisa menjadi massa penonton yang tidak berpihak, lebih fokus pada sensasi daripada memahami konteks sebenarnya. Seolah menyoroti bagaimana media dan masyarakat sering kali mengabaikan kedalaman cerita manusia, lebih memilih sensasi instan daripada pemahaman mendalam, dan menjadi ‘ambigu’ dalam kehidupannya.
Kehidupan Yang ‘Repetitif’ dalam Panggung Drama
“Bodoh, Goblok, Tolol, Pethok, Ubur-Ubur” yang diulang berkali-kali
Goffman (1959) memperkenalkan sebuah konsep Impression Management atau menganalogikan kehidupan kita seperti panggung teater. Manusia adalah seorang aktor di panggung, yang baik sadar maupun tidak sadar ia akan mengatur penampilan mereka dalam kehidupan sosial. Menurut Goffman, setiap individu memainkan peran yang berbeda dalam berbagai konteks sosial, dengan tujuan untuk menciptakan kesan yang diinginkan di hadapan audiensnya.
Kehidupan masyarakat urban sering digambarkan penuh dengan aktivitas yang repetitif. Rutinitas harian yang sama, mulai dari bangun tidur, pergi bekerja, hingga pulang ke rumah, menciptakan perasaan monoton dan siklus yang tidak berujung.
Plot ini dibawa oleh Budi Pekerti. Mungkin, kesan dan rasanya, sifat rutinitas ini seolah membawa pada susahnya menjalani kehidupan urban.
Lepas kasus ‘viralnya’, dunia bu Prani seolah berputar. Kasus viral tersebut menempatkan Bu Prani di tengah sorotan publik, memaksanya untuk memainkan peran yang berbeda dalam berbagai konteks sosial. Bu Prani harus memilih bagaimana ia bertindak dan bereaksi terhadap tekanan sosial yang ada. Dirinya harus mempertimbangkan ‘bagaimana’ tindakannya dan ‘apa’ dampaknya bagi persepsi orang lain terhadap dirinya.
Panggung 1
Tita : “Yauda kita kasih tau aja yang sebenarnya terjadi di komen”
Muklas : “Ojo. Nang video iki, mama maskeran. Ora ono sing ngerti iki mama. Ora usah golek perkoro”
Panggung 2
Komite Yayasan 1 : “Yang kami permasalahkan itu bukan soal kata, tetapi yang kami prihatinkan adalah kenapa bu Prani sampai semeledak itu?”
Komite Yayasan 2 : “Minggu depan akan ada satu asesor yang akan melakukan psikotes kepada ibu Prani ya bu”
Komite Yayasan 3 : “Ini tidak akan mempengaruhi penilaian kami terhadap program bu Prani. Hanya saja dalam seleksi wakasek, kami perlu memastikan bahwa secara jasmani dan rohani-pun bu Prani siap.
Goffman mengemukakan bahwa dalam setiap interaksi sosial, individu berusaha mengatur penampilan mereka untuk menciptakan kesan yang diinginkan di hadapan audiensnya. Dengan posisi bu Prani yang sedang mendapatkan tawaran ‘jabatan’ sebagai wakil kepala sekolah, dirinya dituntut untuk menjaga citra dirinya. Panggung drama ini pun dimulai. Navigasi awal dimainkan oleh Tita dan Mukhlas, dimana keduanya menjadi “choices” bagi bu Prani, apakah pilihan Muklas untuk diam agar menghindari konfrontasi, atau Tita yang memilih permintaan maaf.
Lantas sejatinya, tindakan apa yang benar? Apakah dengan diam atau menutupi kebenaran demi menghindari masalah lebih lanjut? Atau justru bersikap terbuka agar permasalahan cepat surut? Kalau saja dengan mudah kita memainkan Deontologi pada hal ini bahwa tindakan moral harus didasarkan pada kewajiban dan aturan yang universal, artinya permintaan maaf justru seharusnya diterima oleh masyarakat.
Namun yang terjadi?
Gambar 2. Bu Prani dengan ‘Klarifikasi’
(Sumber : Film Budi Pekerti (2023))
Pilihan awal Bu Prani untuk melakukan ‘klarifikasi’ malah membuatnya ke jurang yang semakin dalam. Prahara awalnya dengan berasumsi bahwa dengan klarifikasi, membuat permasalahannya beres. Justru yang terjadi, hantaman masalah datang dengan perlahan, berulang, dan seolah tidak ada habisnya.
Panggung 3
Bapak Sapto (Pelanggan di pasar) : Saya mensomasi bu Prani untuk membenahi pernyataannya ke publik, agar tidak terjadi fitnah kepada saya dan keluarga saya. Jika tidak, saya terpaksa membawa ini ke jalur hukum.
….
Guru : Kalau saya usul pak, agar permasalahan ini cepat selesai, bagaimana kalau bu Prani membuat video permintaan maaf buat bapak itu saja?
Panggung 4
Muklas : Mulane, mama posting permintaan sek ke sosmed. Minta maaf mergo nesu-nesu nang panggon putu, salah nuduh wong, permintaan maaf mergo ngekeki hukuman sing salah.
…
Muklas : Tapi saiki, salah opo bener keh mek perkoro sopo sing banyak ngomong.
Istilahnya, pola ‘time loop’ terjadi pada kehidupan bu Prani. Brütsch (2021) mengaitkan konsep ini dengan mitologi Sisyphus, seorang raja yang dihukum oleh para dewa dengan mendorong sebuah batu besar ke atas bukit hanya untuk melihatnya menggelinding kembali ke dasar setiap kali hampir mencapai puncak bukit.
Brütsch menganalogikan konsep ini pada bagaimana proses perulangan yang meski terjadi dalam hitungan hari, namun berlangsung seolah selamanya. Kehidupan Bu Prani setelah kasus viral menggambarkan bagaimana dia terperangkap dalam pola loop. Setiap tindakan klarifikasi yang dia ambil seolah memperpanjang siklus masalah yang dihadapinya.
Lebih lanjut, sistem-sistem loop ini didekatkan pada pola sinematografi yang juga repetitif. Adegan-adegan saat Bu Prani (dan keluarga) membuat klarifikasi ditekankan dengan sorotan medium dan dilengkapi dengan ring light sebagai sorotan utama menuju wajah. Thompson dan Bowen (2009) juga menekankan bahwa penggunaan shot atau sorot kamera seperti ini guna memberikan keseimbangan antara emosional dan konteks situasi bagi protagonis.
Gambar 3. Dua Adegan Klarifikasi
(Sumber : Film Budi Pekerti (2023))
Penggunaan medium shot yang konsisten dalam adegan-adegan klarifikasi ini menciptakan pola visual yang repetitif, memperjelas bagaimana kondisi emosional Bu Prani. Penggunaan ring light pada adegan-adegan ini juga membantu memperjelas dan menghilangkan bayangan keras pada wajah karakter, seolah menonjolkan detail emosi kepada penonton. Dengan tidak mengubah framing dan pencahayaan secara drastis, perhatian kita pun seakan langsung terpusat pada wajah dan ekspresi Bu Prani, memungkinkan kita untuk merasakan setiap perubahan emosional yang terjadi padanya.
Maka, kontekstualisasi urban dengan segala macam ke-modern-annya, semakin terkoneksinya lapisan masyarakat, dan semakin cepatnya penyebaran informasi membuat bagaimana seseorang juga dengan seimbang mampu mempertahankan citra dirinya di hadapan orang lain. Keputusan untuk berbicara atau diam, meminta maaf atau tidak, semuanya adalah bagian dari strategi yang kompleks dan penuh pertimbangan. Bu Prani terus berusaha memperbaiki kesalahan masa lalunya, tetapi setiap tindakan yang diambilnya hanya mengulangi siklus yang sama. Pada akhirnya, Bu Prani terperangkap dalam kisahnya sendiri yang berulang, selalu berakhir pada tindakan klarifikasi yang seolah tanpa ujung.
Yang Diadili ≠ Yang Menang
Berkaca pada Penyalin Cahaya (sebagai film panjang pertama Wregas, sang sutradara), entah karena membekasnya film tersebut namun narasi pada bu Prani mengingatkan pada Suryani. Konflik yang berawal dari korban, berujung pada sebuah siklus tragis di mana semuanya seolah bergerak "dari korban, untuk korban, dan berakhir tetap menjadi korban." Denham et.al (2009) menyatakan bahwa dinamika sosial dan tekanan dari masyarakat publik seringkali memaksa terjadinya viktimisasi sekunder, di mana korban mengalami penderitaan tambahan akibat tanggapan sosial atau hukum terhadap kejadian yang menimpa mereka.
Dalam masyarakat yang sering kali lebih cepat menilai daripada memahami, korban kerap kali ditempatkan di posisi yang serba salah. Ada kecenderungan dalam masyarakat untuk menyalahkan korban atas situasi yang mereka hadapi. Pertanyaan seperti "Kenapa kamu harus berada di sana?" atau "Apa yang kamu katakan sebenarnya?" adalah manifestasi dari budaya ini. Alih-alih memberi dukungan, masyarakat justru menambah beban dengan menyiratkan bahwa korban memiliki tanggung jawab atas apa yang terjadi pada mereka. Ketika korban mencoba untuk berbicara dan mencari keadilan, mereka akan dihadapkan pada skeptisisme dan keraguan.
Lalu, apa hanya masyarakat antar masyarakat yang menjadi ‘pemain’ lain?
Gambar 4. Permainan ‘media’ dalam masyarakat
(Sumber : Film Budi Pekerti (2023))
Media juga sering kali memainkan peran signifikan dalam viktimisasi sekunder melalui pemberitaan yang sensasional atau tidak etis. Pemberitaan yang berfokus pada detail pribadi korban atau spekulasi tentang peran mereka dalam kejadian tersebut dapat menambah rasa malu dan isolasi. Begitu pula yang menimpa Bu Prani, di mana media-media di sekeliling kehidupannya tidak henti-hentinya mengekspos setiap aspek dari kasusnya, sering kali tanpa mempertimbangkan dampak psikologis yang ditimbulkan.
Fenomena ini sering kali berkaitan dengan konsep media clickbait, di mana judul-judul berita dibuat sedemikian rupa untuk menarik perhatian maksimal dari pembaca. Media yang terobsesi dengan jumlah klik akan cenderung memperbesar aspek-aspek negatif dari sebuah cerita, bahkan jika itu berarti menambah beban emosional pada korban seperti Bu Prani. Judul-judul berita yang bombastis, potongan-potongan informasi yang diambil di luar konteks, dan spekulasi yang tidak berdasar semua menjadi alat untuk menciptakan narasi yang menarik pembaca. Alih-alih menyajikan informasi yang seimbang dan berbasis fakta, media justru memperparah situasi dengan menjadikan Bu Prani sebagai pusat perhatian negatif, mengabaikan implikasi emosional dan sosial yang dialaminya.
Satu hal yang terluput bagi Wregas Bhanuteja, sebagai seorang sutradara, adalah melihat kompleksitas dari cancel culture dalam narasinya. Ketika media dan masyarakat secara bersamaan menyerang individu dengan intensitas yang begitu besar, hasilnya adalah penghakiman publik yang tidak proporsional dan kehilangan rasa keadilan. Narasi ini penting karena memperlihatkan bahwa media bukan hanya penonton pasif dalam peristiwa sosial, tetapi aktor aktif yang dapat membentuk opini publik dan mempengaruhi jalannya kehidupan seseorang.
Manusia akan selalu berakhir pada kenyataan bahwa yang diadili tidak sama dengan yang menang. Sistem hukum dan sosial yang ada sering kali tidak memberikan keadilan yang sejati bagi korban. Proses peradilan yang panjang, melelahkan, dan penuh dengan pengulangan kesaksian serta konfrontasi dengan pelaku membuat korban merasa semakin tersudut. Setiap langkah dalam proses ini bisa menjadi pengingat yang menyakitkan akan trauma yang telah mereka alami.
Hingga pada akhirnya, Budi Pekerti (2023) meringkasnya pada realitas:
"Diamlah dan tutup mulutmu, selagi kamu tidak tahu apa dan bagaimana yang sebenarnya terjadi."
Referensi
Giddens, A. (2018). Introduction to sociology (10th ed.). New York, NY: W.W. Norton & Company.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Eds. & Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University Press. (Original work published 1781)
Ritzer, G. (1995). Modern sociological theory. New York, NY: McGraw-Hill.
Thompson, R., & Bowen, C. J. (2009). Grammar of the shot (2nd ed.). Burlington, MA: Focal Press.
Comments
Post a Comment