Monolog, Kosong, dan Keegoisan Untuk Pulang (Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang)

 Monolog, Kosong, dan Keegoisan Untuk Pulang (Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang)

Penulis: Dimas Ramadhiansyah

Ada banyak cara dalam seseorang mengartikan sebuah rumah. Bukan hanya sebagai rumah singgah yang dalam artiannya sebagai tempat tinggal sehari-hari, maupun sebagai ruang berlindung dan bertempat tinggal. Makna rumah dapat lebih luas apabila kita berani mendefinisikannya. Rumah selain sebagai bangunan, sebenarnya adalah orang-orang yang ada didalamnya. Maka apabila dapat kita definisikan, rumah adalah seberapa nyaman saat kita berada di sebuah tempat. 

Mendefinisikan arti rumah dalam sebuah Film, nampaknya dapat dilihat melalui film Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang (2023). Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang adalah film drama karya Angga Dwimas Sasongko yang merupakan sekuel dari film pertamanya, Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini yang dirilis tahun 2020. Masih dalam tujuan melanjutkan kisah dari film pertamanya, Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang mengambil fokus lebih intim kepada Aurora dan kota London sebagai kota yang penuh harapan, dan dipenuhi jutaan impian. 

Aurora, protagonis utama utama dalam film ini masih dihadirkan dengan peranan seorang gadis remaja yang haus akan kebebasan untuk menggapai impian-impian yang terpendam. Ia bersyukur, amat bahagia ‘pada awalnya’ ketika orang tua yang utamanya sang Ayah mengizinkannya studi ke luar negeri. Namun, saat ia bertemu dengan Jem, hidup Aurora terjerat dalam kegelapan. Ia menemukan sisi kelam Jem yang memaksa dirinya untuk mengorbankan kuliah, meninggalkan impian-impian yang membara, dan merasa terhempas begitu saja.

Hubungan antara kedua tokoh ini menarik sebuah benang merah dalam tema yang mendalam tentang peran gender dalam dunia perfilman. Aurora, yang diwakili oleh semangat feminisme liberal, melawan gangguan, kekangan, dan keterbatasan untuk mencapai kebebasan dan kesetaraan. Sementara itu, Jem digambarkan sebagai sosok maskulinitas yang dominan, yang mewakili hegemoni pria melalui pengaruh persuasif dan budaya.

Dalam kajian psikoanalisis, perkembangan kepribadian seseorang timbul ketika konflik-konflik dari aspek psikologis di dalam diri mereka. Bahkan dalam kondisi tak sadar, seseorang akan dapat berperilaku bertentangan dengan kesadaran mereka. Akibatnya, pola yang repetitif ini pun akan memberikan penilaian terhadap perilaku yang tidak disadari.

Gambar 1. Aurora yang diperankan Sheila Dara

(Sumber : Film Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang)

Pengembangan karakter Aurora, yang terbangun sebagai perwujudan feminisme liberal, memang dapat dimulai dari kisah perjalanan studinya di London, Inggris. Berkecamuk dengan berbagai pikiran dan kebebasannya yang terhimpit selama tinggal di rumah memenuhi relung dirinya. Karakter inilah yang berusaha dibangun, dengan prinsip feminisme liberal yang ditekankan. Ia hanya memiliki keyakinan bahwa semua manusia memiliki kesetaraan rasional untuk mengejar segala jenis pekerjaan.


Gambar 2. Awan yang diperankan oleh Rachel Amanda, Angkasa yang diperankan oleh Rio Dewanto

(Sumber : Film Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang)

Apabila Angkasa sebagai kakak tertua diberikan kebebasan untuk memilih jalan hidupnya, dan Awan sebagai bungsu yang diberikan perhatian lebih, maka penguatan karakter Aurora inilah yang membawa pada bahasan feminisme. 

“…bahwa perempuan adalah makhluk rasional seperti halnya laki-laki dan mereka tidak boleh diingkari hak-hak kodratinya dan harus memiliki kebebasan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya.”

Kumar Mohajan, H. (2022). An Overview on the Feminism and Its Categories. In Research and Advances in Education (Vol. 1, Issue 3). https://doi.org/10.56397/rae.2022.09.02

Sigmund Freud menjelaskan, bahwa dalam struktur kepribadian manusia, karakter manusia dapat terbentuk karena dorongan biologis yang sedari dulu berkembang. Karakter khas yang terbentuk itu dapat berwujud pada gambaran nafsu, hasrat seksual dan perasaan superior (ingin berkuasa). Pengembangan karakter Jem selama film berputar dikembangkan melalui kisah masa lalu yang terbentuk dan tertanam pada diri Jem. Dirinya yang selalu dibayang-bayang nama Ayahnya seorang seniman lawas di Indonesia yang terkenal pada masanya, dituntut harus menjadi seperti Ayahnya, tidak pernah mendapat apresiasi, membawa pendalaman pada struktur Id manusia bahwa semua aspek psikologi dapat diturunkan, termasuk karakter dan kepribadian manusia.

Gambar 3. Konflik Jem yang diperankan oleh Ganindra Bimo, dengan Aurora

(Sumber : Film Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang)

Bayang-bayang maskulinitas yang tergambar dari karakter Jem bukan hanya suatu penguatan karakter bagaimana pria memiliki dominasi dalam suatu peran sosial. Konstruksi sosial tentang maskulinitas yang dominan seringkali menekankan kekuatan fisik, keberanian, dan keinginan untuk mendominasi yang terkait dengan sifat-sifat yang dikaitkan dengan id. Freud mengemukakan bahwa dalam perkembangan psikoseksual, anak laki-laki cenderung mengalami kompleks Oedipus yang melibatkan hasrat seksual terhadap ibu dan rasa persaingan dengan ayah. 

“Kompleks Oedipus dalam kajian psikoanalisis, merupakan keinginan untuk keterlibatan seksual dengan orang tua lawan jenis dan rasa persaingan yang bersamaan dengan orang tua berjenis kelamin sama; yang mana ini menjadi tahap penting dalam proses perkembangan normal manusia.”

(Freud, S. (1899). A General Introduction to Psychoanalysis translated by  G. Stanley Hall. Dodo Collections)  

Proses identifikasi selama kompleks Oedipus inilah yang dapat menyebabkan seorang anak laki-laki menginternalisasi nilai-nilai dan norma-norma yang diterima dalam masyarakat patriarkal. Mereka cenderung belajar untuk mengidentifikasi diri dengan ayah mereka dan mengadopsi citra maskulinitas yang diharapkan.

Pria yang menginternalisasi maskulinitas hegemonik sering kali mengungkapkan perilaku agresif, otoriter, dan dominan sebagai respons terhadap tekanan untuk memenuhi ekspektasi sosial tentang bagaimana seorang pria seharusnya berperilaku. Tetapi, ekspektasi tersebut nyatanya bukan hanya terbentuk karena respon sosial saja, melainkan ada kesadaran dan tekanan dari diri manusia itu yang memperkuat bagaimana peran, karakter dan kepribadian dalam diri manusia. Sehingga dalam konteks maskulinitas hegemonik, identifikasi dengan ayah menjadi penting karena ayah memiliki peran krusial bagi seorang anak karena mereka akan meniru dan memenuhi gambaran ayah yang maskulin. 

Sebagai sebuah medium visual dan naratif yang kuat, film dapat membentuk persepsi dan mempengaruhi pemikiran penonton. Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang mencoba mengadopsi cara lain melalui kehadiran silence and monologue untuk membentuk persepsi dan mempengaruhi pesan demi pesan yang disampaikan dalam film. Diam bukan berarti hanya terjadi ketika kosongnya dialog dalam suatu scene di suatu framing saja. 

“Diam ditunjukkan untuk selaras dengan kebenaran dan emosi yang mendalam; monolog juga dapat memenuhi penguatan peran, meskipun dengan cara yang berbeda.”

(Brook, C. (2008). Beyond dialogue: Speech-silence, the monologue, and power in the films of Ermanno Olmi. Italianist, 28(2), 268–280.)

Gambar 4. Scene Diam Aurora dan Honey

(Sumber : Film Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang)


Kita biasa dimanjakan dengan film-film bergenre drama yang notabene dipenuhi konflik menanggapi dialog-dialog antar konflik antar pemain, tetapi bagaimana bila kita harus berfokus pada framing diam dan monolog yang memenuhi film tersebut? Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang berani membawa cerita tersebut. Pesan-pesan tidak langsung yang disoroti melalui adegan diam membawa pada pembahasan bahwa mata seorang penonton tidak akan berhenti memproses kejadian yang dilihatnya di dalam sebuah film. 

Pada gambar 4 misalnya, potongan adegan tersebut adalah saat jalan cerita film membawa Aurora dalam keputusasaan dirinya untuk mencari jalan keluar permasalahannya dengan Jem, masalah studinya, hingga bagaimana ia mempertanggungjawabkan kepada orang tuanya. Adegan tersebut dikemas secara diam, hanya menampilkan gestur yang berubah, dilengkapi latar kereta yang bergerak cepat.

“Apabila kita mengatakan bahwa diam bagian dari perlawanan, maka kita menganggap bahwa akan ada jeda yang terbentuk dalam setiap pergaulan atau interaksi yang dianggap sebagai hal yang penuh makna.”

(Dimitrijević,A. (2021). Silence as a manifestation of resistance. As a book chapter in Silence and Silencing in Psychoanalysis. New York:Routledge.)

Roy Thompson dan Christopher Bowen dalam bukunya Grammar of the Shot menjelaskan ada kalanya baik sebagai produser maupun penonton, mata kita akan terus mengontrol seberapa besar latar belakang atau background harus dimasukkan. Hal ini dilakukan agar framing tersebut tidak mengalahkan aksi utama di antara latar tersebut. Terkadang, akan banyak mata yang memandang salah atau bahkan merasa tidak nyaman ketika latar belakang yang difigurkan terlihat memaksa, salah pada tempatnya, atau bahkan mendominasi adegan. 

Melihat analisis shot yang digunakan, Medium Long Shot (MLS) menjadi salah satu cara paling efektif untuk menggambarkannya. Resistensi yang tercipta merupakan bagian dari counter effect yang berusaha membangkitkan cerita kedalam berbagai permasalahan yang saat itu sedang terjadi dalam kehidupan Aurora. Sementara apabila dalam produksi film, penekanan Medium Long Shot digunakan untuk menonjolkan siapa yang ada di dalam cakupan gambar. Maka dalam scene ini dimaksud untuk menonjolkan kerumitan masalah yang sedang dialami Aurora. 

Silence, ketika digunakan dengan tepat, dapat menciptakan ketegangan dan memperkuat ekspresi emosional karakter. Dalam momen-momen yang penting atau menuju konflik dalam cerita, kesunyian dapat menarik perhatian penonton dan membuat mereka lebih terhubung dengan perasaan dan pikiran karakter. Yang pada intinya penonton pun dapat merasakan intensitas emosi yang kuat dan yang ingin disampaikan.

Berhasilnya, pada gambar 4 Aurora dan Honey dapat menyembunyikan pikiran, perasaan, dan maksud yang sesungguhnya melalui latar belakang yang dibangun. Penggunaan angle shot yang tepat dirasa mampu untuk menaikkan tensi yang dibangun selama scene tersebut. Diam bukan diam, ada perlawanan yang tersirat bahwa dirinya sedang kacau, layaknya cahaya kereta yang bergerak cepat. Rumit dan penuh, itu yang berusaha dibangun. 

Ketika diam diartikulasikan dalam film Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang sebagai sebuah penanda kekosongan, maka adegan-adegan monolog dalam film ini menjadi penguat bagaimana pengembangan karakter yang lebih tajam. 

Gambar 5. Dolly Shot dan Penguatan Monolog Konflik Aurora

(Sumber : Film Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang)

Mengartikan monolog dalam sebuah film tidak hanya terlimitasi sebagai suatu adegan dimana karakter harus berdialog dalam dirinya sendiri, namun sebuah adegan monolog juga dapat digunakan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, atau refleksi dalam kata-kata karakter tersebut. Dalam monolog, karakter dapat memaparkan pemikiran yang kompleks, mengungkapkan emosi yang kuat, atau mengungkapkan peristiwa yang sedang berlangsung.

Titik monolog yang terjadi pada diri Aurora mengharuskan ia meluapkan emosi yang ia tahan dari adanya tekanan oleh Angkasa dan Awan. Dalam adegan yang penuh emosi, seorang pemain dapat digambarkan melalui dolly shot yang mendekat, memberikan penekanan visual pada ekspresi wajahnya yang mencerminkan pergulatan emosi yang mendalam. 

“…..Dolly shot mengacu pada teknik pergerakan kamera untuk memberikan pengalaman visual yang intens dan menggambarkan perasaan karakter secara lebih mendalam…..”

Barsam, R. (2010). Looking at Movies : An Introduction to Film (third edition). New York: W.W. Norton & Company Inc.

Gerakan halus dan terarah ini menciptakan efek yang dramatis dan memperkuat perasaan ketegangan pada penonton. Empat tangkapan pada gambar 5 memperlihatkan empat sorotan kamera dengan movement shot yang mendeterminasi rasa emosi dari Aurora. 

Dua scene pertama memperlihatkan framing Aurora yang dekat dengan kamera atau biasa disebut Dolly In. Pada Dolly In, ketika penekanan kamera ditujukan pada ekspresi wajah karakter, maka diharapkan kita sebagai penonton dapat merasakan kedekatan emosional dengan subjek. Sementara pada dua scene selanjutnya, kamera difokuskan sedikit menjauh dari subjek atau biasa disebut Dolly Out. Umumnya, Dolly Out digunakan untuk menggambarkan perasaan yang hilang, tidak berdaya, dan berusaha menunjukkan dinamika perubahan jarak emosional kepada penonton. 

Peran Aurora semakin dikikis. Yang pada dasarnya ia hanya membutuhkan kebebasan, tetapi mengharuskannya menjadi sosok wanita yang kuat. Bukan tuntutan dari luar, tetapi dari dirinya sendirilah yang harus mampu untuk berani. Jika menurut Angkasa sebagai kakak ataupun ayah Aurora bahwa dalam kehidupan ini apabila mengalami batu hantaman, terjatuh, dan terpuruk maka pulanglah menuju rumah. Namun bagi Aurora, karena kehidupan masih dapat berjalan, maka bangkitlah selagi ada kesempatan untuk mampu bangkit.

“Dia yang asing, tapi membuatmu merasa begitu diterima” 

- Aurora (Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang)

Lanskap kota London yang menjadi tema latar pada film ini memberikan konstruksi akan arti rumah. Di awal London hanyalah kota tujuan Aurora untuk belajar, namun arti tersebut berubah. Apabila pada sekuel pertamanya (Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini) berlanskapkan kota Jakarta, menjadi rumah tempat Aurora dilahirkan dan dibesarkan, namun London menjadi rumah yang sesungguhnya, tempatnya menemukan arti dari rumah.

Latar senja yang dihadirkan di akhir film ini memiliki metafora yang dapat diartikan dalam kehangatan, transisi, serta perubahan yang dialami oleh Aurora. Melalui latar senja yang indah ini, dapat mengekspresikan bahwa rumah sejati bukan hanya terkait dengan tempat fisik, tetapi juga berkaitan dengan ikatan emosional dan hubungan yang terjalin. 

Bagi Angga Dwimas Sasongko sebagai sutradara, membawa dan menghadirkan lanskap kota London yang cukup berbeda dari apa yang mungkin kita sebagai penonton bayangkan. London yang sering dilukiskan sebagai kota dengan gemerlap keindahan klasiknya, namun dalam film ini London dikonstruksikan dengan sudut-sudut kota yang gelap, sempit, dan penuh dengan hiruk pikuk pekerja. 

Namun, inilah arti rumah bagi Aurora. Biarpun akan ada konotasi “egois” yang ada di hadapannya, London adalah tempat dia menemukan arti sejati dari rumah. Bahwa sekalipun rumah bukan hanya sekedar tempat fisik atau lokasi kita akan tinggal dan menetap, tapi lebih daripada perasaan nyaman, kebahagiaan, dan identitas yang ditemukan dalam suatu tempat. Tempat yang membuatnya menemukan terang dari gelap hidup yang ia jalani. Aurora tidak hanya memilih rumah, tetapi juga memilih jalan hidup dan identitasnya sendiri.

Maka akan ada akhir bahwa setiap orang berhak untuk menentukan apa yang membuat mereka merasa nyaman, apa yang membuat mereka bahagia, dan apa yang membuat mereka senang dalam kehidupan. Penting bagi kita entah di posisi sebagai penonton ataupun sebagai masyarakat awam bahwa kita juga harus menghargai dan menghormati keputusan orang lain dalam menentukan jalan hidup mereka. Melihatnya sebagai hak asasi manusia yang mendasar, bukan sifat egois, baik untuk perempuan maupun laki-laki.






Comments

Popular posts from this blog

PENYALIN CAHAYA: KETIKA TUBUH DILUKIS DALAM EKOSISTEM DIGITAL

Budi Pekerti (2023) : Dua Dunia Masyarakat Urban