Menelusuri Keberanian dan Keberartian Hidup : Kembang Api (2023)

Menelusuri Keberanian dan Keberartian Hidup : Kembang Api (2023)
Penulis : Dimas Ramadhiansyah 

(Tulisan ini mengandung kata-kata yang berkaitan dengan ‘bunuh diri’, ‘mati’, dan ‘kesehatan mental’)

Di tengah gemerlap cahaya yang memikat dari dunia luar, tersimpan suatu realitas yang mungkin terlupakan bagi sebagian besar manusia, yakni permasalahan mental yang menghantui puluhan hingga mungkin ratusan orang yang ada kalanya berakhir secara tragis lewat bunuh diri yang membekas di hati banyak orang.

Dalam kerumunan kehidupan sehari-hari, penting bagi kita untuk membuka mata dan hati terhadap isu-isu yang tersembunyi ini, untuk saling peduli, dan bersama-sama mencari cara mencerahkan lorong-lorong gelap yang sering terabaikan ini. Mengingatkan pada kalimat tersebut, film Kembang Api karya sutradara Herwin Novianto ‘mungkin’ memberikan sekelebat jawaban. Film yang diadaptasi dari film Jepang berjudul 3ft Ball & Souls ini mengambil kisah yang sama dari film adaptasinya, tentang mengakhiri hidup bersama lewat ledakan kembang api.

Sebuah perjalanan naratif-pun muncul. Apabila David Bordwell dan Kristin Thompson dalam bukunya “Film Art: An Introduction” memberikan penjelasan bahwa perjalanan naratif didasarkan pada seluruh kejadian, peristiwa maupun tindakan yang melibatkan karakter dalam suatu ruang dan waktu, maka film Kembang Api ini memberikan kisah perjalanan yang dapat disimak melalui kata kunci “kembang api”, “bunuh diri”, “mental”, dan “keyakinan”.

“Sebuah narasi biasanya dimulai dengan satu situasi awal; kemudian, serangkaian perubahan terjadi berdasarkan hubungan sebab dan akibat; akhirnya, narasi mencapai situasi baru yang menutup cerita tersebut. Keterlibatan kita dengan cerita sangat tergantung pada sejauh mana kita memahami pola perubahan dan stabilitas, hubungan sebab dan akibat, serta latar waktu dan tempat cerita berlangsung.” (dalam Bordwell, David, and Kristin Thompson. 2008. Film Art: An Introduction. Vol. 28. 8th ed. New York, USA: McGraw-Hill Humanities.)

Dimulai dari sebuah gudang kecil, Langit Mendung (Donny Damara) mengajak tiga orang lainnya melalui sebuah grup obrolan rahasia untuk mengakhiri hidup lewat “bunuh diri”. Remang-remang cahaya gudang tersebut menghiasi pada sebuah aspek pencahayaan yang notabene akan memberikan kesan pada kondisi psikologis karakter yang menggambarkan kebingungan, kegelisahan, hingga perasaan tidak pasti. Namun setelan pada cahaya lampu yang memancar dari atas, memberikan penekanan pada sosok Langit Mendung yang berantakan, membuatnya untuk sekejap saja, tampak tua, rentan, dan sedih.

Gambar 1. Langit Mendung yang diperankan oleh Donny Damara

Sumber : Film Kembang Api (2023)

Alur cerita pun dimulai. Langit Mendung sebelumnya masuk dengan membawa bola bom berisikan kembang api yang akan digunakan untuk ‘bunuh diri’ bersama. Bola berwarna kuning yang dihiasi tulisan aksara jawa bertuliskan “urip iku urup”. Secara psikologis, warna kuning seringkali dianggap sebagai warna yang melambangkan kehangatan, semangat, keceriaan, dan perasaan yang bahagia. Tetapi pendalaman makna pada warna kuning memberangkatkan pada identifikasi bendera kuning yang sering kali dipakai sebagai simbol kematian. Bagi kita yang mayoritas tinggal di Indonesia, seringkali bendera kuning akan dipasang ketika ada sanak saudara, tetangga, ataupun kerabat yang meninggal dunia.

Maka, apakah pemilihan warna kuning sebagai warna dasar bola bom ‘kematian’ ini mendasari pada maksud bahwa mereka akan ‘mati’ dengan bom ini?

Gambar 2. Bola bom berisikan kembang api

Sumber : Film Kembang Api (2023)

Mari kita bahas dalam tulisan ini.

Sesal dan Jejak Emosional -Konsep Well-Being dan Bunuh Diri-

Pengembangan protagonis utama mulai dikuatkan diawal. Anggrek Hitam (Ringgo Agus Rahman), Tengkorak Putih (Marsha Timothy) masuk sebagai lakon yang bergabung dengan grup ‘bunuh diri’ tersebut. Keduanya memiliki satu tekad dan tujuan yang sama halnya dengan Langit Mendung, ingin ‘mengakhiri hidupnya’. Tanpa ada alasan yang tersurat tersampaikan mengapa mereka ingin ‘bunuh diri’, ketiganya nampak berada pada posisi beban dan mental yang tidak bisa terbendungkan. 

Gambar 3. Tiga pemeran utama film Kembang Api

Sumber : Film Kembang Api (2023)

Pendalaman pada sebuah peran yang kaitannya dengan penuh emosional dan memiliki beban mental tidaklah dapat kita anggap sebagai sebuah hal yang mudah. Mereka harus mampu menggambarkan karakter-karakter yang berjuang dengan niat untuk mengakhiri hidup mereka tanpa adanya alasan yang tersurat. 

Bahkan tampak dari ekspresi, semua yang ditampilkan dapat membuat tanda tanya. Apakah benar seorang Langit Mendung mengalami beban depresi? Toh pada sepuluh menit pertama dalam film ini dirinya masih bisa bercanda, hingga sesekali tertawa. Anggrek Hitam yang tampak lesu dan malah mempertanyakan apakah bisa ‘mati’ hanya dengan bom kuning tersebut. Atau seorang Tengkorak Putih yang membawa tas besar ketika bertemu untuk melakukan ‘bunuh diri’. Bukankah cukup berlebihan?

“Depresi itu tampak berbeda-beda bagi setiap orang. Termasuk kepedihan batin yang dialami dengan cara, taraf, dan reaksi yang berbeda pula” (dalam Haig, Matt. (2018). Reasons to Stay Alive (Kisah Nyata Melawan Depresi Dan Berdamai Dengan Diri Sendiri). Indonesian. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.)

Orang yang hidup dengan banyak tekanan yang berujung pada tingkat depresi seringkali menghadapi perasaan putus asa dan kebingungan yang dalam. Mereka mungkin terlihat baik-baik saja dari luar dirinya, akan tetapi perasaan cemas hingga kelelahan mental bisa menjadi teman setia dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dalam kenyataan, masalah mental adalah sesuatu yang kompleks dan tak terlihat. Tidak selalu bisa diukur dari apa yang kita lihat dari permukaan. Gambaran tampilan luar bisa sangat menyesatkan, dan banyak orang yang mungkin mengalami penderitaan batin yang dalam namun tetap mampu menyembunyikannya di balik senyuman atau ketenangan. 

Hingga muncul seorang anak SMA, bernada riang, dengan polos dan lugunya masuk sambil mengatakan “Maaf terlambat, tadi ada praktikum dulu di sekolah”.

Gambar 4. Anggun yang diperankan oleh Hanggini

Sumber : Film Kembang Api (2023)

Pada awal sepuluh menit pertama, terbitlah perasaan dalam diri penulis, sebuah perasaan "bersalah," yang terjalin dalam tanda tanya mengenai apakah nasib keempat karakter ini akan menghantarkan mereka pada pilihan tragis untuk mengakhiri hidup. Seperti mata yang merenung jauh, apakah mereka dihimpit oleh perasaan bersalah? Masalah seperti apa yang ditanggung? Ada gadis SMA, haruskah ia mengakhiri hidupnya? Dan pertanyaan itulah yang dimunculkan terhadap Anggun (Hanggini) oleh ketiga karakter lain. Beban seperti apa yang ditanggungnya hingga ia bergabung bersama yang lain.

Dalam aliran yang mengalir, konsep tentang well-being muncul sebagai hulu dalam cerita ini. Menguraikan makna yang terkandung di dalamnya, well-being adalah sebuah panorama keadaan sejahtera yang merangkai beberapa aspek kehidupan menjadi satu kesatuan yang serasi. Ia mengikatkan dimensi-dimensi psikologis, emosional, dan sosial, sehingga tercipta gambaran yang lebih lengkap tentang kebahagiaan dan kesejahteraan.

Tak dapat dielakkan, di satu sisi, well-being melibatkan emosi dan suasana hati yang positif, seperti perasaan kepuasan, kebahagiaan, dan kedamaian batin. Individu dengan well-being psikologis yang baik cenderung memiliki persepsi positif tentang diri mereka sendiri dan kehidupan mereka secara keseluruhan. Mereka mampu mengalami emosi positif secara lebih konsisten dan memiliki ketahanan mental yang lebih baik untuk mengatasi stres dan tekanan sehari-hari.

Namun di sisi lain, well-being juga berarti ketiadaan emosi negatif yang berlebihan, seperti stres, depresi, kecemasan, atau kegelisahan yang mengganggu. Perasaan negatif ini dapat mempengaruhi kualitas hidup dan menghalangi individu untuk mencapai potensi maksimal dalam berbagai aspek kehidupan.

Saat bom diledakkan dan memperlihatkan kilatan cahaya, kilatan ini dari kacamata penulis dan sekaligus penonton dari film ini sedikit mengganggu sebenarnya. Lantaran dari segi sinematik yang ditampilkan, seakan ledakan hanya menghasilkan cahaya. 

Gambar 5. Scene saat bom diledakkan

Sumber : Film Kembang Api (2023)

“….termasuk penggunaan ruang negatif dalam bingkai, modulasi kedalaman yang dirasakan oleh pencahayaan dan ambiguitas kedalaman yang dihasilkan oleh irama gerakan dan perspektif yang berubah-ubah.” (dalam Donaldson, Lucy Fife. 2014. Texture in Film. England: Palgrave MacMillan.)

Namun, yang dapat disoroti lainnya, hadirnya ruang negatif dalam sebuah framing film dapat merujuk pada area kosong yang nampak pada subjek utama. Ruang negatif memiliki peran penting dalam komposisi visual karena dapat memberikan penyeimbangan, mengarahkan perhatian, dan memberikan kesan terhadap suasana atau emosi yang ingin disampaikan oleh adegan tersebut. Disamping penggunaan efek cahaya bom yang sedikit mengganggu, namun terciptanya ruang-ruang kosong di samping ‘empat nyawa’ ketika bom diledakkan dapat diartikan sebagai hal yang lain.

Dalam beberapa konteks, subjek utama yang ditempatkan di tengah-tengah ruang negatif dapat mencerminkan perasaan isolasi atau kesepian. Keberadaan ruang negatif yang melingkupi subjek bisa menggambarkan bagaimana subjek merasa terasingkan dari lingkungannya atau bahkan merasa kesepian dalam situasi tertentu. Tetapi ruang kosong ini memiliki lebih dari sekedar makna visual, ia merangkai cerita emosional yang lebih dalam.

Ketika subjek berada di tengah-tengah ruang negatif, juga dapat memberikan perasaan terkekang atau keterbatasan. Ini dapat menggambarkan bagaimana subjek mungkin merasa terjebak atau terhalang oleh lingkungan sekitarnya. Sehingga, penggunaan ruang negatif yang nampak pada gambar 5 berusaha menggabungkan bagaimana perasaan sendiri dan keterbatasan yang dialami ‘empat nyawa’ yang pada akhirnya mengharuskan mereka untuk mengakhiri hidup.

Merefleksikan kedalam film Kembang Api ini, well-being bisa dijelajahi melalui narasi yang menggambarkan perjalanan karakter dalam mencari keseimbangan emosional dan kebahagiaan dalam hidup mereka. Hal ini dapat dicontohkan dalam cerita seorang individu yang menghadapi berbagai tantangan kehidupan, dan bagaimana mereka mengatasi stres, kecemasan, atau depresi untuk mencapai well-being psikologis yang lebih baik.

Keempat tokoh, kita sebut saja dengan tersurat pada tulisan ini sebagai ‘empat nyawa’, berkumpul dalam satu misi yang sama. Mereka berusaha mencapai titik keseimbangan hidup mereka dengan mencari jawaban melalui ‘bunuh diri’. Menyajikan berbagai latar belakang dan masalah pribadi yang mempengaruhi kesejahteraan mental mereka, Masing-masing karakter berjuang dengan caranya dalam menghadapi tekanan, depresi, kecemasan, dan rasa tidak berarti. Mereka merasa terpukul oleh beratnya hidup dan mencari jawaban dalam tindakan ekstrim, ‘bunuh diri’.

Pertanyaan mungkin muncul, bagaimana hubungan antara konsep well-being dengan tindakan tragis 'bunuh diri'? Kaitan ini sebenarnya menggambarkan kompleksitas kehidupan. Dalam realitasnya, kita dapat bertemu dengan individu yang merasa terjerembab dalam emosi negatif dan kesulitan hidup, hingga pada titik di mana kematian tampak menjadi satu-satunya jalan keluar dari penderitaan. Mereka mengalami disfungsi emosional yang kuat, hingga tercapainya well-being tampak sebagai tujuan yang tak tercapai. Dan pada akhirnya, pertarungan batin yang tak tertahankan, membawa mereka pada pilihan 'bunuh diri'.

Di tengah kegelapan yang dihasilkan oleh ledakan, muncullah cahaya yang menggambarkan harapan di tengah keadaan yang penuh dengan kehancuran. Dalam saat-saat penuh destruksi dan kehancuran, cahaya menggambarkan harapan yang muncul di tengah gelapnya keadaan. Ia seperti lambang kekuatan manusia untuk menciptakan sesuatu yang indah bahkan di tengah situasi yang penuh kekacauan. Cahaya, dalam konteks ini, bisa mencerminkan keteguhan dan tekad untuk bertahan dan menghadapi tantangan. Dalam sinarnya yang menerangi kekacauan, kita menemukan refleksi bahwa dalam momen-momen gelap, harapan masih mampu bersinar.

Kembang Api -Berhenti untuk melawan Keyakinan-

Sebuah penelitian yang diambil dari Richard B. Slatcher and James W. Pennebaker memperlihatkan umumnya terdapat enam kondisi bagaimana seseorang mengalami kerusakan pada mental mereka. 

Peristiwa-peristiwa kehidupan tertentu mungkin lebih mungkin memiliki konsekuensi yang merusak kesehatan kesehatan yang buruk karena kaitannya dengan ekspresi emosional. Peristiwa-peristiwa yang paling banyak menimbulkan yang paling banyak menghasilkan konflik adalah yang paling sulit untuk dibagikan dengan orang lain -pelecehan seksual, dipecat dari pekerjaan, kesulitan dalam pekerjaan, memiliki penyakit yang menstigmatisasi, perselingkuhan dalam pernikahan, dan pengalaman  yang berpotensi traumatis lainnya-. (dalam Slatcher, Richard B., and James W. Pennebaker. 2014. “Emotional Expression and Health.” Cambridge Handbook of Psychology, Health and Medicine, Second Edition (June 2014):84–87. doi: 10.1017/CBO9780511543579.019.)

Pada akhirnya, Alim Sudio sebagai penulis dalam film ini mengambil empat kondisi yang menggambarkan kerusakan mental kepada empat protagonis utama film ini. Langit mendung berangkat pada kisahnya yang dipecat dari pekerjaan karena kesalahan dirinya saat mengoperasikan kembang api, Anggrek Hitam dengan kisah traumanya dalam pekerjaannya, Tengkorak Putih dengan kisah trauma karena anaknya yang kecelakaan, dan Anggun dengan kisah perundungan di sekolahnya. 

Dalam medan perjuangan melawan kondisi mental yang mengganggu, dukungan dari orang-orang terkasih adalah seperti pasokan oksigen bagi jiwa yang tersiksa. Mereka adalah pilar-pilar yang kokoh, yang dengan sabar mendengarkan, merangkul, dan mendukung kita dalam perang melawan pikiran-pikiran negatif yang menghantui.

Apabila dalam hidup ini, kita seringkali terperangkap dalam labirin kegelisahan dan ketidakpastian. Namun, apakah keyakinan yang hanya bersembunyi di dalam diri kita cukup? Dalam banyak kasus, jawabannya adalah tidak. Kondisi mental yang menuju ke arah bunuh diri adalah lintasan kelam yang terbentang di tengah-tengah pikiran dan emosi yang tertekan. Bagi sebagian orang, perasaan terisolasi, keputusasaan, dan beban perasaan yang tak tertahankan dapat menjadi kompas menuju jurang gelap ini. Dalam keheningan yang dalam, mereka sering berjuang melawan perasaan cemas yang tak kunjung mereda, pertentangan dalam diri sendiri, dan rasa putus asa yang tumbuh menjadi seperti ombak yang tak terkendali.

Seakan proses time loop yang terjadi di setiap percobaan ‘bunuh diri’ membawa pada makna bahwa ‘jalani hidupmu kembali, dengan keyakinan yang lebih’. 

Gambar 6. Scene saat ketiga nyawa lainnya mengurungkan niat untuk bunuh diri

Sumber : Film Kembang Api (2023)

Maka pada lanskap yang terjadi di sepuluh menit akhir dalam film ini, Anggun yang dihadapkan pada posisi ketika ketiga nyawa lainnya mengurungkan niat untuk ‘bunuh diri’, mencapai pada titik dimana makna dari ‘urip iku urup’. 

Mungkin seolah membawa pada keadaan pikiran atau emosi Anggun yang mungkin tidak diungkapkan secara langsung, ketika ia memalingkan wajahnya dari kamera dan menatap ‘ketiga nyawa’ lainnya, ada kesan bahwa ia belum mencapai titik kesejahteraan yang ia cari sebelumnya (mati dan bunuh diri). Dalam momen ini, penggunaan shot yang bersifat medium memberi kita sebuah pesan: bahwa dalam setiap tantangan hidup, selalu ada jalan keluar, dan keyakinan adalah fondasi yang membangunnya. Keyakinan ini tidak hanya berasal dari diri sendiri, tetapi juga bisa didorong oleh interaksi dengan orang lain. 

Pengambilan gambar secara medium ini juga berusaha memberi makna kepada kita bahwa “Setiap masalah, akan ada jalan keluar, dan perlu ada keyakinan yang dibangun. Bukan hanya melalui diri sendiri, tetapi bisa melalui orang lain”. Anggun, sebagai gadis remaja yang di beberapa scene dianggap sebagai pembawa sial nyawa lainnya karena tidak bisa mati, justru menjadi kunci bagaimana ia yang dapat menyadarkan ketiga nyawa lainnya.

Gambar 7. Scene akhir film ketika keempat nyawa memutuskan untuk tidak bunuh diri bersama

Sumber : Film Kembang Api (2023)

Dalam keadaan yang terjerat dan tenggelam terhadap masalah, kita sering kali terhimpit pada pemikiran bahwa solusi yang bisa kita ambil dengan ‘bunuh diri’. Namun, di tengah kelamnya keadaan, kita diingatkan bahwa arti hidup melampaui batas yang diakui oleh penderitaan dan keputusasaan. Dalam perjuangan kita untuk menemukan makna, kita menemukan bahwa setiap langkah kita, sejauh apa pun itu, memiliki dampak yang lebih dalam daripada yang kita bayangkan. Karena pada akhirnya dibutuhkan sebuah keberanian yang lebih dan sangat besar untuk kita hidup dibandingkan memilih jalan untuk ‘bunuh diri’.

Urip iku Urup : Pamungkas Jalan Kehidupan

Kalau gak urip ya gak urup 

Mendasari pada pertanyaan di awal tulisan ini, maka sekelebat jawaban akhir yang bisa diberikan adalah jangan menyudahi semua masalah dengan begitu saja. Dalam hidup ini, kita akan berada pada posisi berusaha mengakhiri penderitaan dan mencari 'urup', makna dalam hidup yang telah lama terabaikan. Ini adalah pencarian akan cahaya diujung terowongan yang tampaknya gelap dan putus asa.

Maka yang mendasari pertanyaan “mengapa kuning yang menjadi dasar bola bom itu?” akan sampai pada diskusi bagaimana kompleksitas batin para karakter ‘empat nyawa’ yang berencana mengakhiri hidup mereka. Pada satu sisi, warna ini dapat saja mencerminkan keinginan mereka untuk menemukan keceriaan dan kebahagiaan yang telah lama hilang dari kehidupan mereka, pencarian untuk meraih kembali rasa bahagia yang mungkin telah terkubur oleh masalah dan penderitaan.

Dalam dunia yang sering kali penuh dengan ketidakpastian dan cobaan, "urip iku urup" mengingatkan kita untuk tetap menghadapi hidup dengan keberanian dan tekad. Ungkapan ini mengajarkan bahwa kita harus terus mencari cahaya di tengah kegelapan, menemukan makna dalam setiap langkah yang kita ambil, dan tetap menjaga semangat untuk melangkah maju. Hidup adalah sesuatu yang berharga dan bercahaya, seolah-olah seperti sebuah pelita yang menerangi jalan di tengah gelapnya malam. Ini adalah sebuah cara agar kita tetap memandang ke depan dengan penuh harapan dan keyakinan, meskipun kita mungkin menghadapi tantangan dan ketidakpastian.

"Urip iku urup" bukanlah sekadar frasa, tetapi cerminan kebijaksanaan dan pandangan hidup. Sebuah panggilan untuk hidup dengan penuh arti, untuk menjaga semangat, memberikan harapan, dan memaknai kehidupan tetap bersinar dalam gelapnya dunia. Dan mungkin, di tengah semua kerumitan ini, ungkapan sederhana ini bisa menjadi penuntun bagi kita saat kita berjalan melalui lorong-lorong kehidupan yang tak terduga. Bahwasannya hiduplah dengan penuh keberanian, sekalipun berat cobalah mengartikan hidup ini dengan makna yang dalam dan positif. Tidak jarang, kita dihadapkan pada tantangan yang begitu besar sehingga terkadang kita merasa ingin menyerah. Namun kembalilah mengingat betapa pentingnya berani menghadapi rintangan. Berani tidak hanya berarti tanpa rasa takut, tetapi berani juga berarti mampu menghadapi ketakutan dan kebingungan dengan kepala tegak. 

(Kepada seluruh kawan, kolega, saudara, kerabat, dan keluarga di luar sana, ingatlah bahwa keberanian untuk berbicara adalah langkah awal yang kuat menuju pemulihan. Jangan pernah memendam masalah. Jangan menutupi hingga membohongi perasaan diri sendiri. Beranilah untuk berbagi beban dengan orang lain, karena bukan bentuk kelemahan, tetapi kekuatan) 

Comments

Popular posts from this blog

PENYALIN CAHAYA: KETIKA TUBUH DILUKIS DALAM EKOSISTEM DIGITAL

Monolog, Kosong, dan Keegoisan Untuk Pulang (Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang)