PENYALIN CAHAYA: KETIKA TUBUH DILUKIS DALAM EKOSISTEM DIGITAL
PENYALIN CAHAYA: KETIKA TUBUH DILUKIS DALAM EKOSISTEM DIGITAL
OLEH : DIMAS RAMADHIANSYAH
“Di lingkungan kampus yang seharusnya menjadi tempat buat menimba ilmu dan belajar untuk generasi kita berkembang haruslah menjadi areal atau zona yang aman. Karena trauma yang terjadi kepada penyintas itu akan selamanya ada dan tidak mudah hilang” – Wregas Bhanuteja
Penyalin Cahaya (dalam bahasa Inggris diterjemahkan
Photocopier, namun dalam tulisan ini selanjutnya akan ditulis
film “Fotokopi”) adalah sebuah film Garapan sutradara Wregas
Bhanuteja. Wregas sendiri bukanlah sebuah lakon anyar dalam dunia produksi
dan industry film. Karya lainnya seperti Prenjak (2016) meraih penghargaan
Leica Cine Discovery Prize (penghargaan film pendek terbaik pilihan juri
utama) dalam Festival Film Cannes, salah satu festival film tertua di
dunia
Film Fotokopi menjadi tonggak karir seorang Wregas. Coretan kisah tentang
pelecehan seksual menjadi konsep yang diangkat melalui film ini. Pelecehan
seksual bukan lagi sebuah isu yang tenggelam dalam keseharian kita. Kerap
kali pelecehan seksual menjadi isu krusial yang sering muncul dalam
kasus-kasus “kejahatan” di Indonesia. Wregas mengangkat isu ini sebagai
perpanjangan maraknya kasus pelecehan seksual di Indonesia yang di bingkai
berdekatan dengan kelas sosial, pembungkaman, dan dunia digital.
Kejahatan-kejahatan pelaku dan penyintas seksual dapat terjadi di mana
saja. Sesuai dengan judul film ini, pengangkatan isu kejahatan seksual
juga dapat terjadi dalam lembaran digital dengan kedok seni dan
kebebasan.
Membicarakan soal pelecehan seksual, tidak akan terlepas dalam konteks
seks dan gender. Penulis dalam hal ini mencoba mendefinisikan konteks
tersebut sebagai landasan pijak awal dalam menulis tulisan ini. Seks
mengacu pada jenis kelamin yang dimiliki oleh manusia. Yakni perbedaan
biologis antara perempuan dan laki-laki dan perbedaan antara tubuh
perempuan dan laki-laki.
Moore dan Sinclair yang dikutip dari Hajir (2020), menuliskan
“Sex reffers to biological deferencer between man and woman, the result
of differences in the chromosomes of the embryo”
(Jenis kelamin mengacu pada perbedaan biologis antara pria dan wanita,
hasil dari perbedaan kromosom embrio). Hajir dalam tulisannya juga
menuliskan bahwa seks atau jenis kelamin secara biologis merupakan
pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara
biologis, bersifat permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki
dan perempuan), dibawa sejak lahir dan merupakan pemberian Tuhan sebagai
seorang laki-laki atau seorang perempuan.
Banyak masyarakat yang masih memiliki pandangan bahwa seks dan gender
merupakan dua interpretasi yang sama. Gender sendiri merupakan suatu sifat
yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara
sosial dan kultural. Konsep gender pada intinya menyangkut perbedaan
secara psikologis, sosial maupun budaya antara laki-laki dan perempuan
dengan kata lain peran (roles) yang dialami, dihadapi, dan
dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan.
Gender menurut Juditha (2015)
adalah pandangan dari masyarakat mengenai perbedaan peran, fungsi serta
tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini adalah hasil
konstruksi sosial masyarakat yakni ketika sebuah kebiasaan tumbuh dan
disepakati secara sosial dan masyarakat dan dapat diubah sesuai
perkembangan zaman.
Dua pijakan seks dan gender dalam tulisan ini akan membawa kepada alur
tentang bagaimana pikiran dan persepsi masyarakat dalam memandang isu
seksualitas. Dua batasan yang terlalu melekat dan menjadi konstruksi dalam
budaya dan pola pikir masyarakat adalah “antara kebutuhan dan tabu”.
Masyarakat di Indonesia pada umumnya masih memiliki stigma negatif apabila
berdialog mengenai seksualitas. Sifat tabu ini diturunkan pula pada muatan
pendidikan yang membahas tentang seksualitas dan reproduksi manusia.
Bukankah kita dapat menerka dan mengingat bahwa dimasa kita duduk dibangku
sekolah, guru cenderung mengabaikan materi terkait dua materi ini? Bukan
karena alasan tidak paham, tapi hanya menganggap “seksualitas sangat tabu
dibicarakan kepada anak-anak”.
Banyak artikel yang sebenarnya telah mengupas secara dalam bagaimana isu
kekerasan seksual diangkat dalam film Fotokopi ini. Artikel karya Feby
Nadeak dalam laman CNNIndonesia mengungkap butuh sebuah waktu perenungan
untuk dapat menarik sebuah benang merah dalam pesan yang ingin disampaikan
dalam film Fotokopi ini. Memang secara tontonan, film ini bukanlah sebuah
film yang memiliki sisi hiburan dan menghibur, melainkan film Fotokopi
sendiri berusaha mengajak penonton untuk berpikir akan segala pesan
metafora yang diselipkan dalam film Fotokopi ini.
Feby Nadeak mengulas, sejatinya film Fotokopi berusaha menyurakan isu
kekerasan seksual yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Film
ini juga digadang-gadang menjadi puncak gunung es yang menyoroti maraknya
kekerasan seksual terjadi di ranah pendidikan. Banyaknya kasus yang
terjadi, namun sedikitnya laporan yang masuk. Namun yang amat disayangkan
dalam film ini adalah pesan tidak bisa dijelaskan secara utuh dan tepat
kepada penonton.
Mengapa hal ini terjadi? Wregas sebagai behind actor dalam film
ini masih belum bisa memberikan sebuah strict point untuk
menyampaikan pesan melalui babak demi babak yang ia permainkan. Sejumlah
adegan yang ditayangkan dalam film ini masih membuat tanda tanya bagaimana
fokus cerita yang dibangun dalam film ini. Terasa seperti diombang ambing
hingga memuat banyak persoalan dan permasalahan yang dilimpahkan kepada
tokoh utama, yakni Suryani. Hingga titik bagaimana Suryani sebagai korban
kekerasan tidak ditunjukkan bagaimana akhir secara gamblang kisah yang ia
lalui sebagai korban tersebut.
Penulis cukup setuju sebagai awalan dalam artikel ini tentang ulasan
tersebut. Secara subjektif penulis juga memiiki pandangan yang sama,
mengapa Wregas harus menumpahkan beragam persoalan yang harus dilalui oleh
Suryani. Bukan dalam artian “Ia tokoh utama, harus bisa memainkan segala
peran dan persoalan”, namun apabila persoalan itu malah menjadi pemborosan
babak yang justru mengarah pada cerita akhir yang awang, lantas untuk apa
seorang tokoh utama harus memainkannya?. Sehingga ketika film Fotokopi
menjadi sebuah puncak representatif bagaimana kekerasan seksual menjadi
marak di lingkungan pendidikan Indonesia, namun pesan yang seharusnya
dapat disampaikan sebagai bentuk awareness dan kepedulian tidak
dapat disampaikan secara nyata.
Sebuah ulasan lain karya Arya dalam laman MyDirtSheet.com menumpahkan
“mengapa pelaku yang diperlihatkan secara sinting dan rapi akan
tindakannya? Bagaimana korban?”. Ya. Secara emosional memang film ini
menunjukan satu-satunya pilihan yang dimiliki korban kekerasan adalah
diam. Bukan karena ia memilih untuk diam, hanya itulah pilihan yang aman
baginya. Korban yang telah berusaha mencari hak dan keadilan atas apa yang
terjadi pada dirinya, namun dibutakan adanya perasaan dari belakang dari
pelaku. Kekuasaan? Kuasa? Power? Ekonomi? Mungkin itulah yang mendiamkan
para korban.
Pengangkatan isu seksualitas dalam sebuah film dalam kacamata kajian
industri media bukan satu atau dua hal yang baru untuk dikonstruksikan.
Berkaca sejak tahun 1980-an, film-film Indonesia mulai berani menjajaki
dan menyoroti isu seksualitas. Perawan Desa (1980), Pasir Berbisik (2001),
Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017) atau bahkan film anyar yang
juga dirilis berdekatan dengan film Fotokopi, yakni Seperti Dendam, Rindu
Harus Dibayar Tuntas (2021) adalah bingkai-bingkai cerminan isu
seksualitas dan pelecehan seksual yang diangkat dan dinarasikan dalam
sebuah film
Yang menjadi menarik adalah kiasan kekerasan seksual yang digambarkan
dalam film-film diatas menarik titik pada kekerasan yang dilakukan secara
intim (dalam artian kekerasan seperti pemerkosaan, pencabulan dan
lainnya). Film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak sebagai ulasan yang
ditulis oleh Adiraoktaroza menyoroti tentang bagaimana derajat perempuan
yang rendah dalam mata adat dan istiadat. Anggapan yang masih sama bahwa
perempuan kodratnya hanyalah berada dalam ranah domestik dan menjadi
penyalur seksualitas pria tergambar dari sosok Marlina. Kekerasan seperti
pemerkosaan, perampokan, kesenjangan hak hingga ketidakadilan menjadi
sorotan keras bahwa kodrat perempuan dipandang serendah itu.
Penulis bisa mengasumsikan, sosok Suryani dan Marlina memiliki kesamaan,
yakni “ia ingin haknya diperjuangkan”. Segala tindakan senggaman yang
mereka peroleh tanpa ada izin dari diri mereka membuat baik Suryani dan
Marlina mencari keadilan atas apa yang ia rasakan. Namun nyatanya, dua
film ini masih menggambarkan pesan yang sama “siapa yang berkuasa, siapa
yang jadi penguasa, dan siapa yang memiliki kuasa dialah yang menang”.
Dapat ditarik sebuah bayangan bahwa sejatinya isu-isu seksualitas dan
pelecehan seksual sudah menjadi sorotan utama masyarakat bahkan sejak
tahun 1980-an. Bukanlah sebuah durasi yang sebentar untuk menyorotinya
kedalam masyarakat.
Melalui tulisan ini, penulis mencoba menawarkan bagaimana kritik akademis
terhadap film Fotokopi dalam tiga bagian.
Salinan Satu: Antara Tubuh, Mitos, dan Seksual, yang akan melukis gambaran dan konstruksi dua coretan
antara mitos dan seksual kedalam kisah naratif dan semiotika sinema.
Salinan Dua: Ekosistem Digital dan Sorotan Kekuasaan, akan membedah kesintingan dan kewarasan “penguasa” dalam menyoroti
“insiden sanggama” dan bagaimana kekerasan seksual tersebut tergambar
dalam ranah ekosistem media dan digital. Dan bagian ketiga,
Salinan Tiga: Benang Merah Penyalin Cahaya , yang
menjadi benang merah antara dua bagian sebelumnya dan mendeduksikannya
kedalam simpulan akhir.
Salinan Satu: Antara Tubuh, Mitos, dan Seksual
“Lu anak gua. Anak gua. Gua lihat foto yang lu tunjukin tadi. Dan gua tahu benar. Itu tanda lahir di punggung lu.” Ibu Sur
Kritik sebuah sinema dalam kajian akademisi, tidak terlepaskan bagi
penulis untuk memandang sudut pandang dan relevansinya dengan sebuah
kajian teoritis. Dalam bagian ini, penulis akan memberikan kajian teoritik
semiotika menurut Roland Barthes yang terkenal melalui paham semiotika
signifikansi “tanda dan makna”.
Barthes menawarkan sebuah kajian semiotik yang merupakan bagian dari linguistik. Barthes berpendapat bahwa tanda-tanda dalam bidang lain tersebut dapat dipandang sebagai bahasa, yang berusaha untuk menyampaikan gagasan (atau dapat kita sebut makna atau arti), yang merupakan unsur yang terbentuk dari penanda-petanda, dan terdapat di dalam sebuah struktur.>
Secara mudahnya, semiotika Barthes menafsirkan bagaimana tingkatan
signifikansi makna kedalam dua tingkatan. Tingkatan pertama disebutnya
sebagai Primary Signification yang didalamnya terdapat “signifier”,
“signified”, dan “sign” secara denotasi. Denotasi dalam hal ini menjurus
pada tanda yang diasosiakan dan dimaknai secara tertutup. Sementara pada
tingkatan kedua yang disebutnya Secondary Signification juga terdapat
“signifier”, “signified”, dan “sign” secara konotasi. Konotasi bagi
Barthes dianggapnya sebagai makna dari tanda yang subjektif, terbuka dan
tidak pasti.
Barthes melihat penandaan dari aspek lain, yakni “mitos" / myth. Mitos menurut Barthes adalah makna penandaan yang menandai suatu masyarakat. Perspektif Barthes tentang mitos ini membuka kajian baru dalam kajian semiologi, yakni penggalian lebih jauh dari penandaan untuk mencapai mitos yang bekerja dalam realitas keseharian masyarakat (Al Fiatur Rohmaniah, 2021).
Subjek penggalian antara tubuh, mitos dan seksual dalam
film Fotokopi ini sendiri adalah Suryani (atau dalam tulisan ini akan
ditulis Sur). Namun sebelum membahasa bagaimana seorang Sur memperkenalkan
dirinya, pembingkaian dan penandaan “seksual” telah dimulai dari awal
film. Pertunjukkan teater di awal film yang mengangkat cerita dari salah
satu mitologi yunani terkenal, Medusa. Medusa (dalam bahasa Yunani artinya
penjaga / pelindung) adalah makhluk mitologi Yunani yang berwujud seorang
perawan cantik dan merupakan seorang pendeta wanita di kuil milik Athena
(Dewi kebijaksanaan). Namun, suatu ketika ia menjalin hubungan asmara
dengan Poseidon (Dewa penguasa lautan). Hal ini membuat Athena marah, ia
pun mengubah rambut Medusa menjadi ular dan mengutuk Medusa sehingga
siapapun yang melihat matanya, akan menjadi batu
Penggambaran Medusa dalam film Fotokopi sedikit mengalami modifikasi.
Penggambaran Medusa dalam film ini adalah seorang wanita dengan berambut
ular namun menggunakan pakaian kebaya dan jarik
batiknya lengkap dengan selendang yang melingkari pinggangnya.
Persis layaknya wanita kejawen atau keraton. Tokoh-tokoh dibelakang
yang digambarkan adalah manusia yang dikutuk menjadi batu oleh Medusapun
menggunakan pakaian layaknya pakaian Jawa.
Sosok Medusa yang berdiri di tengah dapat dimaknai bahwa perempuan dapat
memiliki peran dominan dalam kehidupan. Dalam kehidupan masyarakat Jawa
lampau, sosok perempuan masih dalam koridor pengekangan peran dalam
masyarakat. Perempuan hanyalah dibatasi oleh nilai yang melekat pada
macak (berhias diri), manak (melahirkan), dan
masak (di dapur) atau sering diistilahkan 3M (Budiati, 2010).
Menilik lebih jauh dan mengsinonimkan kata “perempuan” menjadi wanita,
wanita sendiri bagi masyarakat Jawa memiliki pengertian
“wani ing tata”. Wani yang berarti berani, dan
tata yang berarti menata. Pemaknaan tersebut memberikan pengertian
yang bumerang bagi masyarakat karena membuat stigmatisasi akan perempuan.
Ada yang memiliki pendapat berani tersebut dimaknai sebagai sosok yang
pemberani (dalam diskusi budaya) dan ada yang memiliki pendapat bahwa
berani tersebut dimaknai sebagai penurut (dalam diskusi partilineal).
Pengkajian semiotik pada awal adegan film ini dapat dijelaskan bahwa
secara denotasi, tampak seorang perempuan berpakaian Jawa dengan
menggunakan rambut palsu berbentuk ular, berdiri di tengah panggung.
Sementara orang-orang yang berada di belakangnya tampak diam dan membisu
layaknya sebuah batu. Secara konotasi, pemaknaan perempuan tersebut
memperlihatkan bahwa seorang perempuan juga memiliki kuasa untuk dapat
menjadi pusat dan sentral dalam masyarakat. Mitosnya, akulturasi
budaya yang diperlihatkan oleh perempuan tersebut merupakan adaptasi dari
mitologi Yunani yakni Medusa, seorang pendeta kuil yang dikutuk memiliki
rambut ular karena tuduhan menjalin hubungan dengan seorang dewa dan
merupakan korban pemerkosaan. Penulis berpendapat, penggunaan mitologi
Medusa sebagai “gerbang awal” dari berjalannya kisah naratif film Fotokopi
ini sangat eksplisit mengisyaratkan bahwa bagaimana seorang “korban” yang
malah mendapat penghakiman dari masyarakat (selanjutnya akan dibahas pada
bagian kedua).
Masih membahas tentang penggambaran sosok “wanita”, selain Sur sebagai
penggerak jalan utama film (akan dibahas nanti), sosok penggambaran tokoh
Farah sangat menarik perhatian penulis. Farah merupakan sosok senior
perempuan yang tegas dan keras. Dalam film, Farah digambarkan pula sebagai
seorang perempuan nakal (dalam suatu konteks) yakni merokok,
tomboy, tertutup dan beberapa naratifpun disampaikan ia suka
bermain dengan berbagai pria.
Penulis memberikan pandangan bahwa sosok Farah yang digambarkan dalam
film ini memberikan perhatian pada bagaimana seorang perempuan berdiri
pada jalan dan pilihan yang mereka pilih. Namun, kembali lagi pada
masyarakat yang masih melihat dari kacamata sebelah bahwa perempuan yang
selayaknya perempuan adalah mereka yang lemah lembut dan penurut.
Penggambaran karakter Farah sebagai sosok yang keras, tegas dan tertutup
(menurut penulis) dapat dilihat pada scene awal ketika ia berada dalam
toko fotokopi dan hendak mencetak suatu berkas.
Farah
Lo baru di matahari ?
Sur
Iya kak
Farah
Gausa lah dateng ke party itu
Gaada gunanya juga nongkrong sama mereka
Sur
Kenapa emangnya kak?
Farah
Udah, mending lo fokus ama beasiswa lo, besok pagi penilaian kan?
Gausa lah sok-sokan pengen kelihatan gaul sama eksis
Terlihat tegas? Cuek? Atau peduli?. Penulispun menerka bahwa sutradara
mencoba menyeimbangkan kedalam dua sisi “wanita”, yakni mereka yang
pemberani dan mereka yang penurut. Namun disamping hal tersebut, penulis
teringat akan sebuah gagasan lama tentang pengucilan sosial (atau lebih
sering dikenal dengan istilah social exclusion). Soicial exclusion dapat didefinisikan
sebagai sebuah situasi dimana tidak semua orang mendapat akses yang setara
kedalam berbagai kesempatan dan pelayanan yang pada hakekatnya mereka
(seluruh manusia) memiliki jalan kehidupan yang layak dan pantas untuk
bahagia. Amartya Sen dalam Mathieson et.al (2008) memberikan pandangannya
bahwa eksklusi sosial atau pengucilan sosial memusatkan perhatian kepada
individu yang dikecualikan dari peluang bersama yang dapat dinikmati oleh
orang lain.
Penggambaran sosok Farah secara in-scene terlihat melalui cuitan
naratif dan watak memberikan pendefinisian bahwa secara denotasi,
tampak seorang perempuan dengan pakaian kemeja, celana jeans, membawa
putung rokok dan dandanan yang sedikit tomboy, dapat mengisyaratkan
bahwa secara konotasi perempuan tidak selamanya berada dalam ranah
“penurut” seperti stigma dan pikiran masyarakat (pada umumnya). Namun,
perempuan juga memiliki kebebasan dalam ranah apapun. Namun, kembali
kepada mitos bahwa orang-orang yang terlihat sangar secara
tampilan, belum tentu selamanya dapat dinilai buruk. Ada maksud-maksud
tertentu ketika seseorang memiliki perubahan sikap yang berbeda tiga ratuh
enam puluh derajat dari sikap biasanya. Perlu digarisbawahi bahwa
labeling kepada orang lain hanya dengan melalui tampilan fisik
ataupun tampilan luarnya bukanlah suatu hal yang benar. Penulis tidak
membenarkan sikap labeling ataupun stereotip pada masyarakat, namun
ada kalanya kita harus berani membuka diri untuk mengetahui bagaimana
perasaan yang dialami oleh orang-orang disekitar kita. Tidak selamanya
orang-orang tersebut memiliki keberanian untuk bercerita tentang
masalah-masalah yang ia alami kepada orang lain.
You Should take people as they are. Stop labeling them. You should get
to know people before you start judging them. Get to know me before you
decide whether you like me or not. -
Sarah Alderson
Pembahasan utama dalam tulisan ini adalah permainan peran seorang Suryani
sebagai penggerak jalannya kisah naratif dalam film ini. Suryani
digambarkan sebagai seorang perempuan muda atau bisa kita sebut gadis yang
baru saja memasuki dunia bangku perkuliahan sebagai seorang mahasiswa
baru. Ia mengikuti kegiatan teater kampus sebagai kegiatan mahasiswa dalam
kampus yang ia pilih. Di teater tersebut ia bermain peran sebagai
pengelola website.
Sejak kemunculannya diawal adegan, sosoknya telah mencuri perhatian
penulis lewat gesture tubuh yang polos. Suryani memiliki kedua
orangtua yang penulis katakan mereka sedikit keras dan disiplin terhadap
Suryani.
Suryani
Bang Tariq, saya izin pulang duluan ya
Ada acara keluarga soalnya
Tariq
Apa? Pulang karena acara keluarga
Emangnya kita ini bukan keluarga
Suryani
Iya bang, soalnya mesti bantuin ibu bang
Tariq
Iye-iye santai kali, lu mau itu kan apa namanya nunggu pengumuman, dua jam
lagi kan?
Suryani
Kayaknya gak sempet sih bang
Tapi nanti kalau udah mau pengumuman saya update ke website kok bang
Tariq
Iya udah hati-hati
Konstruksi wanita yang dianggap penurut menurut penulis cukup sempurna
dimainkan oleh Suryani. Lebih jauh lagi, ketika Suryani berada dalam latar
dirumahnya dan sedang membantu sang ibu berjualan di toko. Tiba-tiba sang
bapak datang membawa handphone milik ibu-nya yang sedang Suryani lacak
melalui laptopnya.
Bapak
Eh… Siapa nih yang nelfon?
Suryani
Itu bukan telfon pak, itu Sur bunyiin dari laptop
Bapak
Kok telat?
Suryani
Tadi pentas teaternya baru selesai pak
Bapak
Kurang-kurangi tuh, itu kan kegiatan diluar kuliah
Warung lagi rame
Penulis menyadari, pembangunan latar cerita yang dibangun dalam film
Fotokopi ini juga masih ada kaitannya dengan budaya Jawa (seperti halnya
pada rekonstruksi mitologi Medusa diawal). Mengaitkannya dengan konsepsi
wanita dan masyarakat Jawa, terdapat tiga perasaan yang dibangun dan
dipelajari oleh masyarakat Jawa dalam pendidikan, yakni Wedi (takut
terhadap akibat dari suatu tindakan), isin (rasa malu, merasa
bersalah), dan sungkan (rasa isin dan malu yang lebih bersifat
positif) (Hanipudin & Habibah, 2021). Penggambaran sosok Suryani sebagai tokoh utama sekaligus
penggerak naratif dalam film Fotokopi ini telah sangat cukup dalam
menggambarkan tiga perasaan tersebut. Sehingga sebagai awalan, secara
denotasi adalah tampak seorang wanita muda bernama Suryani yang
lahir dalam lingkungan Jawa (terlihat dari mise en scene seperti
setting, costume dan makeup, action serta body languange) yang dibawakan
olehnya. Suryani adalah mahasiswa baru yang tergabung juga sebagai
pengelola website kegiatan teater kampus.
Namun secara konotasi, wanita yang digambarkan sebagai seorang
Jawa dengan menggunakan pakaian seperti kebaya, dan jarik sayangnya masih
terdapat stereotip di masyarakat. Wanita dalam pandangan masyarakat Jawa
masih dianggap hanyalah sosok wanita yang sopan, bertutur laku baik dan
anggun. Wanita yang harus manut (ikut) apa kata lelaki.
Sementara mitos-nya, bahwa dalam masyarakat Jawa, seorang wanita
dikonstruksi sama selayaknya apa yang masyarakat anggap. Karakter wanita
Jawa sangat identitik dengan kultur jawa yang kalem, mampu memahami orang
lain, dan sopan.
Menggambarkan secara naratif apa yang menjadi alur kisah dalam film
Fotokopi ini, Suryani-lah yang mampu membawakan jalannya naratif dalam
film ini. Penokohan sosok wanita yang wedi atau takut akan perbuatannya
yang salah, sosok wanita yang isin atau malu apabila tidak dapat
menghormati orang lain, serta sosok wanita yang sungkan dengan penuh
kesopanan adalah kepribadian seksual yang dibawa oleh Suryani sepanjang
film ini.
Namun, bagaimana sosok Suryani membingkai dirinya ketika ia mengalami kekerasan seksual ? Nyatanya, gambaran Suryani dibuat oleh Wregas sangat berbeda ketika ia menjadi korban kekerasan seksual. Sosok Suryani yang awalnya dibangun oleh Wregas sebagai sosok wanita yang yang penuh kesopanan perlahan dihapuskan oleh Suryani dengan membangun karakternya lebih berani. Keberanian yang dimaksud adalah bagaimana Suryani yang tidak hanya tinggal diam ketika ia telah mengetahui fakta bahwa dirinya menjadi korban kekerasan seksual, dengan mencari data dan fakta untuk menangkap pelaku. Sayangnya, konsepsi keberanian ini penulis menyimpulkan masih bersifat ambivalen atau ketika kondisi perasaan antara benar dan salah terjadi secara bersamaan (lebih lanjut akan dibahas pada sub pembahasan berikutnya).
Sementara bagaimana dengan korban lainnya? Sebut saja dalam film ini
korban lainnya adalah seorang Farah dan Tariq. Farah yang digambarkan
dalam film ini adalah senior dari Suryani dan mantan anggota Teater.
Keterungkapan fakta bahwa ia menjadi korban kekerasan seksual didapat dari
hasil penelurusan dan pencarian Sur. Saat dimana Suryani mengungkapkan
bahwa salah satu foto instalasi teater adalah tato milik Farah, nyatanya
Farah hanyalah acuh dan menyatakan semuanya sudah tidak berguna.
Keteracuhan seorang Farah ini penulis gambarkan sebagai salah satu adanya
dampak dari sisi korban kekerasan seksual, bahwa meski trauma secara fisik
dapat dihilangkan, namun secara psikis dan mental akan tetap ada dalam
diri seorang korban. Sifat tomboi dan sangar dari Farah bisa
menjadi bentuk pertahanan dari dirinya agar tetap terlihat kuat dimata
orang lain yang mana sebagai bentuk self-disclosure dan
self-defense darinya. Dengan kata lain, seorang Farah mencoba untuk
tetap membuka dirinya dan berinteraksi dengan orang terhadap situasi yang
terjadi pada dirinya. Penulis menarik sebuah relevansi bahwa ini bisa
menjadikannya sebagai coping untuk menutupi masa lalu Farah, yaitu
upaya / usaha untuk bereaksi terhadap kesulitan yang dihadapi.
Sehingga, sosok Farah yang diawal penulis tuliskan bahwa sosok
tomboi dan sangar yang dibentuk oleh Farah, memang selamanya tidak
bisa hanya dianggap dan dilihat bahwa dirinya adalah seorang yang
problematik. Penulis mengapresiasi langkah ini dari penggarapan dan
pengangkatan sosok Farah sebagai bentuk self-defense darinya.
Namun sayangnya, keterbingkaian coping ini ditarik dalam ranah
yang buruk dalam artian bagaimana Farah melepas segala masalahnya dengan
lari dari masalah, menutup masalah, dan mencari hiburan dengan mabuk dan
main dengan laki-laki.
Sementara bagi Tariq, identitasnya sebagai korban kekerasan seksual
memang terungkap di akhir ketika ia bersama Farah yang pada akhirnya juga
membantu Sur untuk menangkap pelaku. Namun yang terjadi adalah sama dengan
apa yang terjadi pada Farah bahwa mereka (korban) akan bungkam pada
akhirnya.
Wregas mencoba memberikan sisi nyata dalam kehidupan di Indonesia bahwa
banyak dari mereka (korban) yang memang pada akhirnya mereka terancam
untuk diam dan menutup mulut atas kejadian yang menimpanya (akan
dijelaskan lebih lanjut pada salinan ketiga).
Namun, sejauh apakah penggambaran seksual dalam film Fotokopi ini ? Pada bagian selanjutnya, Penulis akan lebih menjelaskan bagaimana seksual dalam film Fotokopi ini secara garis besar berada dalam ekosistem dan pemaknaan secara digital. Penggambaran kekerasan seksual yang menjadi “isu” utama dalam film ini diangkat melalui bagaimana seni dan digital saling bersinambungan dalam membentuk satu persepsi pandangan yakni ekosistem digital. Pemanfaatan tubuh dalam film ini digambarkan sebagai pelampiasan nafsu dengan menggunakan teknologi digital sebagai perantaranya.
Salinan Dua: Ekosistem Digital dan Sorotan Kekuasaan
“Saya hanya memotret bintang Sur, milky way” - Rama
Sorotan pertama ketika memulai memikirkan, “bagaimana ekosistem digital
bekerja dalam film Fotokopi ini?”, maka hal yang pertama kali dapat
dilihat adalah ketika foto kondisi mabuk Sur tersebar di media
sosialnya.
Bagaimana foto itu tersebar ketika Suryani dalam keadaan mabuk?
Semenjak kejadian itu yang mengharuskannya mendapat pemutusan beasiswa
karena dianggap tidak berperilakuan baik, Suryani mulai melancarkan dan
melacak segala sesuatu untuk menemukan kebenaran di balik foto itu. Hingga
kejanggalan-kejanggalan lain seperti baju yang ia kenakan secara tiba-tiba
berada dalam posisi terbalik.
Sepanjang awal film Fotokopi dimulai, penulispun akan berada dalam asumsi yang sama dengan banyak orang yang telah menonton film ini “Apakah Handphone Suryani dihack?.” Permainan hacking menggunakan handphone bukanlah suatu perkara yang mudah. Seorang hacker harus mampu masuk kedalam data handphone tersebut untuk meretasnya. Ataupula, apabila ada seseorang yang ingin memposting foto Suryani, maka ia harus mampu masuk kedalam handphone-nya.
Suryani berkulat dalam pikiran itu. Hingga ia menemukan fakta bahwa foto
itu diambil dirinya sendiri dalam keadaan mabuk.
CCTV yang ada dirumah Rama-pun menunjukkan hal tersebut. Namun apakah
bisa mengambil simpulan bahwa Suryani yang mempostingnya? CCTV-pun tidak
bisa menunjukkan latar yang jelas dan keadaan yang jelas setelah Suryani
mengambil foto itu. Hingga, cerita ini dibawa oleh Wregas untuk menujukkan
permainan hacking yang dilakukan Suryani.
Amin
Sur lu mau ngapain sih
Suryani
Mulai sekarang gue mau tinggal disini
Gue mau cari bukti lainnya
Amin
Maksud lo?
Suryani
Mulai besok, gue mau nyolong data dari hp anak-anak
Kegiatan peretasan yang dicoba dilakukan oleh Sur sejatinya berdasarkan
beberapa alasan hingga Sur harus melakukannya demi mencari bukti-bukti
digital lainnya. Konsep pertama yang perlu dipahami bahwa peretasan
bersifat ambivalen (keadaan perasaan yang terjadi secara bersamaan),
karena peretasan itu sendiri merupakan masalah sosial. Apa yang bisa baik
untuk beberapa orang dan mereka yang melakukannya (Suryani harus
mengumpulkan bukti-bukti secara digital lainnya) dan berdampak buruk bagi
orang lain (Anak-anak yang diretas Sur akan mengalami kerugian secara hak
privasi, dan Suryani bisa mendapat ancaman karena telah melanggar hak
privasi orang lain) (Kelty, 2018).
Maka apa yang berusaha dilakukan oleh Wregas terhadap pengendalian tokoh
Suryani disini sejatinya masih berkaitan dengan apa yang konstruksi atas
Wanita terbentuk dimasyarakat. Mungkin Wregas membuat sosok Suryani adalah
sosok yang kuat dan tangguh (seperti yang telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya). Penulis pun beranggapan, Wregas berusaha menganalogikan mata
pisau sebagai Korban dan Korban (Suryani yang tubuhnya diintervensi secara
paksa sehingga melanggar privasinya dan Suryani yang mengintervensi
privasi orang lain melalui peretasan) yang membuat Suryani berada dalam
posisi pelaku dan korban. Ketika Suryani berada dalam posisi pelaku,
maka ia berusaha bertindak untuk menemukan fakta dan bukti akan kejadian
kekerasan seksual yang dialaminya. Dan ketika Suryani menjadi korban, maka
aktualisasi yang diangkat adalah ia korban kekerasan seksual. Intervensi
atas tubuh dan intervensi atas hak privasi orang lain menjadi pusat
kendalinya.
Konsep lain yang menjadi pusat kendali dan diangkat melalui film Fotokopi
ini adalah seni. Hingga saat ini, ketika membicarakan soal seni terkadang
masih ada dalam takaran ambiguitas dalam pemaknaan dan definisi seni itu
sendiri. Namun yang dapat ditarik dari banyaknya pengertian seni itu
sendiri, secara mudah seni dianggap sebagai suatu kemampuan untuk membuat
dan menciptakan sesuatu menurut aturan (yang ada atau yang telah
ditetapkan) (Tatarkiewicz, 1971). Definisi tersebut dapat memperlihatkan definisi yang sempurna dan
jelas, bahwa seni adalah ketika kita menciptakans sesuatu tanpa keraguan
dari sebuah aturan yang ada.
Namun apa kaitan seni dalam film ini sendiri?
Suryani diceritakan bahwa dalam film ini ia tergabung dalam klub teater
mahasiswa. Membicarakan soal teater pastinya tidak akan terlepas dari
adanya seni didalamnya. Entah itu seni peran, seni lukis, seni tari, seni
musik dan lainnya. Seni adalah bentuk dari kebebasan. Definisi itu kerap
kali masih tergaung ketika mencoba mendefinisikan soal seni. Memang, dalam
prakteknya seni dibebaskan kepada para kreatur seni untuk mengekspresikan
bentuk seni yang mereka inginkan. Namun bagaimana bila seni tersebut
tergambar secara “salah” dalam sudut seksualitas?
Mengaktualisasikan seksualitas memanglah sangat sulit dalam takaran memandang norma, budaya dan kondisi sosial terutama di Indonesia. Didalam seni, seksualitas adalah hal yang sangat pribadi, diekspresikan dan ditafsirkan dalam berbagai cara yang berbeda pula. Sama halnya yang tergambar didalam film ini. Mari kita bahas satu persatu!
Suryani
Bang samsul, kata bang Rama ada revisian instalasi ya bang?
Yang dari foto milky way itu?
Samsul
Iya, kenapa emangnya?
Suryani
Saya boleh lihat gak bang?
Samsul
Ya, telat lu, udah dipacking nih. Ini mau dikirim ke mobil box.
Buat apaan emangnya?
Suryani
Mau saya foto bang, buat dimasukkan ke website
Samsul
Oh kalau gitu mah gue kirim file foto yang dari Rama aja ya
Yang sebelum dicetak ke light box
Foto, instalasi, teater, dan cahaya menjadi medium perantara bagaimana
maksud senggaman seksualitas diaktualisasikan dalam film ini. Suryani yang
merasakan keanehan ketika semalam setelah pesta di rumah Rama usai tentang
bagaimana baju yang ia kenakan dalam posisi terbalik menjadikan langkah
awal Suryani dalam membangun jalannya cerita. Hingga ia menemukan fakta
salah satu instalasi yang digunakan dalam teater tersebut adalah foto
punggungnya.
Sebuah kajian seksualitas dalam seni yang dapat menggambarkan apa yang
diangkat film Fotokopi ini adalah sajian objektifikasi. “Objectification is a concept connected to the development of a
tradition of female nudity in art.” (Amadi, 2017). Apa yang dimaksud dari objektifikasi adalah
bagaimana gambaran kecantikan fisik ataupun penolakan terhadap kepribadian
tubuh yang diobjektifikasi. Gambaran seni dalam film Fotokopi ini
dapat mengisyaratkan ketika kepuasan menggunakan tubuh sebagai objek
seni yang tanpa memperhatikan aspek mental, fisik maupun kekuatan bertahan
dari objek itu. Ya, ini semua kembali kepada konsep awal yang dibangun
film ini tentang kekerasan seksual.
Namun apakah hanya sebatas itu kekerasan seksual yang ditonjolkan dalam
film ini? Darimana letak kekerasan?
Tubuh yang pada umumnya digunakan sebagai objeknya dan pikiran sebagai
pusat kendalinya. Mitos yang berkembang dalam masyarakat bahwa seksualitas
masih banyak menyangkut kedalam perbuatan yang dinilai salah dan
menyimpang. Mengapa demikian? Hal yang tabu masih menjadi alasan utama
mengapa seksualitas berada di nomor sekian dalam kajian akademik dasar.
Apabila kita recalling tentang memori lama di dunia sekolah, banyak
dari guru (atau bahkan orang tua) enggan mengajarkan kepada anak tentang
pendidikan seksualitas. Sehingga bagaimana pandangan akan seksual masih
dinilai tabu dan vulgar.
Further, a more direct reference to art itself, that is, reproductions
of the work of the artists surveyed, would give a much-needed “life” to
the ideas presented within, and render the ideas more concretely
meaningful in the context of the topic of this anthology.
(Rodrigues, 2014)
Ide-ide yang disajikan dalam seni yang mereferensikan “seksualitas”
membuat sebagian dari para kreatur-kreatur seni tersebut harus memaknainya
secara lebih konkret dan sesuai dengan topik.
Rama
Sur, itu bukan foto punggung kamu
Suryani
Saya mau melakukan pengecekan dengan file ini.
Ayo kita bawa ke tim forensik untuk diperiksa, sekalian kita cek foto
instalasi yang lain
Dia ngambil foto saya tanpa izin saya pak!
Rama
Sur, saya tau kamu dalam keadaan stres, sejak beasiswa kamu hilang
Memang betul saya mengambil foto itu jam 2 pagi
Tapi kalau kamu memang bertanya kepada saya, saya sedang memotret bintang
Sur
Yang saya foto itu bintang, milky way
Ketika sebuah media berperan layaknya dua mata pisau. Tajam untuk
menunjukkan hal yang baik dan tajam untuk menghilangkan hal yang jahat.
Antagonis Rama yang menjadi “pelaku” seksual dalam film ini mengelakkan
bahwa seni adalah kebebasan. Apakah tindakan tersebut dapat mengerucutkan
pembenaran dan bukan sebuah tindakan kekerasan seksual yang menjadi konsep
utama? Tidak. Konsern yang lebih utama dalam memandang kejadian tersebut
adalah bagaimana pemaknaan kekerasan seksual digambarkan. Banyak dari
film-film yang mengangkat konsep dan isu kekerasan seksual, misalnya 27
Steps of May (2019) yang merupakan hasil sutradara Ravi Bhawarni yang
masih menampilkan definisi kekerasan seksual sebagai keinginan hasrat
untuk menjamak tubuh dan kekuasaan orang lain. Atau sebut film lainnya 7
Hati 7 Cinta 7 Wanita yang juga masih menampilkan definisi kekerasan
seksual serupa.
Namun, Wregas dalam film Fotokopi ini berhasil menuangkan dan memperluas
pandangan bahwa kekerasan seksual tidak hanya dalam konteks kekerasan
untuk memiliki tubuh seseorang. Semua manusia memiliki hak atas tubuhnya
sendiri. Mereka berhak menentukan batasan boleh atau tidaknya ketika
seseorang menyentuh bagian tubuhnya. Dalam film ini, tubuh Sur disentuh
dan digunakan tanpa sepengetahuan dan tanpa adanya izin dari Sur. Apapun
tindakannya kepada tubuh korban, apabila itu tidak mendapat persetujuan
atau didapatkan dari adanya ancaman dan paksaan, maka itu tetap termasuk
kekerasan seksual.
Seperti makna konotasi yang berusaha diungkap bahwa ekosistem digital
tidak selamanya berada dalam tatanan sumber dan kekuatan teknologi untuk
menjadi satu kesatuan lingkungan yang baru dan utuh, namun ekosistem
digital dapat dimaknai sebagai sarana baru untuk mendapat, menggunakan,
membagikan hingga melaporkan segala sesuatunya. Fisik dan tubuh dalam
batasan kewarasan ekosistem digital dipertaruhkan.
“Siap tidak siap, semua dapat dengan mudah diungkap dan didapatkan
melalui digital”. Kalimat tersebut mungkin yang menjadi pemantik dalam
menyoroti konsep kekerasan seksual dalam film Fotokopi. Sehingga semua
dapat dikembalikan lagi dengan adanya kuasa dan relasi. Siapa yang
berkuasa dia yang menang. Relasi kuasa dimainkan oleh Wregas dalam
menunjukkan bagaimana kaitan antara cause and effect dari pelaku
dan korban. Suryani yang melaporkan kepada dewan etik, namun Suryani-lah
yang disalahkan. Penulis tidak mendeskriditkan akan sosok perempuan yang
Suryani mainkan, namun dapat dilihat bahwa kekuasaan dalam ekosistem
digital juga menjadi kunci utama dalam permainan Rama.
Lalu apakah ada ruang aman di dunia ini? Mengapa dalam ekosistem yang
bersifat digital saja kuasa dan kekuasaan masih diberlakukan?
Jawabannya, tidak. Menurut Foucault yang penulis kutip dari Mudhoffir (2013)
ada dimensi antara kekuasaan dan pengetahuan yang disebutnya
Power-Knowledge. Dalam ekosistem digital, bentuk bentuk teknologi
yang ditawarkan dapat dipermainkan bagi mereka yang mempunyai kuasa (akan
teknologi tersebut) dan pengetahuan (akan kebaruan teknologi). Sehingga,
dilema yang terbentuk adalah kesenjangan, ketidakmerataan, hingga dimensi
ketidakadilan yang muncul menjadi masalah karena teknologi yang digunakan
tidak bebas nilai, sarat dengan muatan kepentingan sang penguasa
(Hertanto, 2021). Pengetahuan yang dimiliki oleh mereka yang lebih paham
dan memiliki kuasa, maka merekalah yang akan bisa memenangkan permainan
digital tersebut.
Kekuasaan dapat didenotasikan sebagai sebuah wewenang, kuasa, kekuatan
dari seseorang kepada orang lain. Kekuasaan dapat dengan mudah memaksa orang-orang dibawahnya untuk
mengikuti kemauan dan kehendak penguasa tersebut.
Menyangkutkan dengan konteks kekerasan seksual, maka ketika pelaku tindak
kekerasan seksual memiliki kekuasaan, kedudukan, dan dominasi dengan
korbannya maka dapat dengan mudah menutup, membungkam, dan mengubur segala
tindakan yang ia lakukan terhadap korbannya. Sama seperti yang dilakukan
Rama dalam film Fotokopi ini. Kekuasaannya sebagai “orang kaya” membungkam
seluruh bukti yang dipunya Sur untuk menindak lanjuti fakta bahwa ia
adalah korban kekerasan seksual.
Michel Foucault, seorang ahli filsafat barat memapakan dalam bukunya yang
berjudul The History of Sexuality yang menyebutkan bahwa kekuasaan yang
dimiliki seseorang, bukanlah kekuasaan yang seutuhnya didapatnya dari
dalam dirinya. Artinya, kekuasaan tidak dapat datang secara tiba-tiba dan
hubungan yang terjadi dengan yang dikuasainya (Foucault, 1986).
Ketika teater matahari (tempat Sur dan Rama berkegiatan) hendak pergi ke
Kyoto untuk mengikuti festival teater internasional, ayah dan ibu dari
Rama membantu tiket pesawat untuk seluruh anggota teater yang berangkat ke
Kyoto, penulis menganggap representasi kekuasaan sudah
terlihat melalui adegan ini.
Anggun
Jadi besok, tiket pesawat kita ke Kyoto akan disupport oleh om Suwarno dan
tante Lilis alias bapak ibunya Rama
Meskipun secara denotasi scene ini bisa dimaknai hanya sebagai bentuk
terima kasih kepada orang yang telah membantu kita, namun melihat lebih
dalam lagi scene ini dapat terlihat sebagai representasi kekuasaan dan
kelas sosial yang dimiliki oleh keluarga Rama. Sementara secara realitas,
sebenarnya penggambaran kelas sosial di Indonesia sendiri tidak jauh dari
kata Kaya dan Miskin. Munculnya kelas sosial terutama di Indonesia akibat
adanya perbedaan dalam dimensi ekonomi (yakni kesenjangan ekonomi dari
golongan atas, menengah dan bawah), dimensi sosial (adanya perbedaan
status sosial antar kelompok masyarakat) dan dimensi politik (antara
penguasa dan yang dikuasai) (Narwoko & Suyanto, 2004). Gaya pamer
(meskipun terlihat secara tersirat), kedudukan dalam posisi berdiri yang
diatas Anggun, dan rumah yang dilihatkan sangat mewah dapat memperlihatkan
mitos bahwa di Indonesia orang-orang kaya identik dengan tiga hal
tersebut.
Menelisir lebih lanjut bahwa Foucault dalam memandang kekuasaan juga tidak terlepas dari konsep pengetahuan. Baginya, kekuasaan dapat hadir akan adanya ketimpangan pengetahuan yang ada dalam realias sosial. Maka, sepandai-pandai Suryani dalam mengumpulkan bukti sebagai pendukung data bahwa ia korban kekerasan seksual, namun apabila dengan kekuasaan dan pengetahuan Rama (sebagai pelaku dan penguasa) punya power untuk menutup tindak kejahatannya, lantas inilah relasi kuasa yang saat ini juga sering terjadi di Indonesia.
Suryani
Saya tidak pernah memviralkan data itu.
Saya memberikan data itu ke dewan etik untuk pengusutan.
Kalau ada kesalahan dalam penyebaran seharusnya dewan etik itu yang
disalahkan.
Maka apa yang dipandang Foucault sebagai kekuasaan, dalam bukunya yang
sama ia menjelaskan bahwa dimana ada kekuasaan, disitu ada perlawanan.
Perlawanan yang dilakukan oleh Suryani karena tuduhan memviralkan
data-data dan bukti bahwa ia adalah korban kekerasan seksual justru
dibalik keadaan dengan adanya kekuasaan atas Rama.
Pengacara Rama
Mbak tenang. Bukankah mbak yang membuat yang membuat dokumen itu dan
membagikannya pertama kali ke orang lain?
Mas Rama Sumarno dicap sebagai seorang pemerkosa, cabul, penjahat kelamin.
Ini semua termasuk pencemaran nama baik klien saya.
Penggunaan diksi “klien saya” menjadikan titik kekuasaan itu semakin
jelas. Ketika diposisi Suryani yang hanya seorang diri ditemani kedua
orang tuanya, sementara Rama yang datang dengan pengacaranya (yang pasti
jauh lebih paham arti hukum). Relasi antara kekuasaan dan pengetahuan ujungnya akan menjadi satu
implikasi yang ada dalam tubuh individu. Relasi ini nantinya akan
membentuk kontrol sosial dalam masyarakat (Mudhoffir, 2013). Relasi kuasa yang hadir dan terbentuk dalam sistem
tatanan masyarakat modern bagi Foucault bukanlah hubungan antar individu
atau subjek. Namun Foucault menganggap, hubungan yang terjadi ini adalah
bukan lagi dipersoalkan tentang subjek dengan subjek, namun juga bagaimana
institusi yang menguasai orang-orang yang terlibat didalamnya (Zaidan,
2020). Maka, kuasa yang ada dalam genggaman Rama ketika ia bisa menguasai
institusi tertinggi (bagaimana dewan etik mampu memberikan akses siapa
penyebar dokumen Rama kepada Rama), bagaimana pihak universitas tidak
ingin kasus yang terjadi antara Sur dan Rama dibawa lebih jauh. Dan
akhirnya, tentang bagaimana Suryani yang telak dan berujung pada
perlawanan yang kalah.
Mencabut tuduhan. Menganggap segalanya hanya salah paham. Damai secara
kekeluargaan
Frasa itulah yang menjadi titik puncak kekuasaan dimainkan. Ketika Suryani benar-benar dilemahkan dan tidak mendapat perlindungan yang justru berujung malu akan dirinya sendiri. Seakan mengisyaratkan senggaman dan intervensi tersebut hanyalah sebuah khayalan anak kecil.
Salinan Tiga: Benang Merah Penyalin Cahaya
Menyikapi persoalan kekerasan seksual yang saat ini menjadi sebuah isu
yang sangat gencar dibicarakan, maka penulis mencoba membawanya kedalam
sebuah konteks tentang media. Acap kali dalam film Fotokopi ini, hampir
keseluruhan elemen miss en scene yang terlihat adalah berupa media.
Baik itu media yang beranah teknologi digital (seperti handphone, laptop,
internet dll) ataupun media-media lain seperti kertas, foto, video dan
lainnya.
Marshall McLuhan, menuliskan dalam bukunya Understanding Media: The
Extensions of Man tahun 1964 bahwa media adalah perpanjangan dari diri
kita. Setiap ekstensi yang ada dalam diri kita, baik kulit, tangan, maupun
kaki dapat mempengaruhi seluruh kompleks psikis dan sosial kita. Maka
penggunaan berbagai media yang digunakan oleh Wregas menjadi satu kajian
menarik bahwa bagaimana peran media sangat begitu besar dalam kehidupan
sehari-hari
Medium is the message. Poinnya adalah ketika suatu media dapat mengubah pola kondisi di
masyarakat.
Bagaimana Suryani menggunakan berbagai macam media yang ia gunakan untuk
mengumpulkan bukti dan data. Peretasan yang dilakukan Suryani untuk
mengumpulkan segala bukti melalui teman-temannya mengisyaratkan bahwa
kemunculan ide hacking atau peretasan adalah bentuk perpanjangan dari
pikiran manusia untuk mengintervensi ranah pribadi dan privasi milik
seseorang secara digital. Suryani hanya membutuhkan keadilan atas dirinya,
namun ia lupa bahwa aka nada dampak dan efek yang terjadi
dibelakangnya.
Bagaimana Rama memainkan peran kekuasannya dengan dalih mengeksplor nyawanya didalam seni dengan mengintervensi tubuh teman-temannyan untuk dijadikan instalasi teater menunjukkan bahwa foto-foto yang ia dapatkan adalah perpanjangan dari seni yang ada dipikiran Rama dengan mengaplikasikan kedalam foto-foto hasil intervensi seksual kepada teman-temannya.
Hingga saat adegan terakhir.
Suryani
Cuman barang bukti ini yang kita punya
Farah
Selebihnya yang kita punya cuman cerita
Pemanfaatan mesin fotokopi sebagai duplikasi dan menyalin segala cerita
dan dokumen barang bukti yang dimiliki oleh Suryani dan Farah menjadi
perpanjangan bagaimana ketika sisa harapan hanya ada pada selembar kertas,
maka yang dapat menjadi penyuara dalam kegelapan tersebut adalah cahaya
untuk menyalinnya.
Adegan terakhir inilah yang dapat menarik sebuah benang merah akhir dalam
film Fotokopi ini, bahwa semuanya akan berakhir pada kekalahan tanpa
kekuasaan. Apabila kenyataan dalam realitas Suryani tidak mendapat tempat
sebagai korban, maka spektrum cahaya dipilih untuk menghasilkan Salinan
yang bisa dibagikan sebagai bentuk kuasa yang dimilikinya. Dengan harapan
apa yang ia bagikan melalui Salinan, dapat memperbalik harapannya dan
mendapat keadilan.
Penulis sangat mengapresiasi bagaimana seorang Wregas mengaitkan beragam
konsep persoalan yang ia tuang kedalam film ini. Mulai dari kekerasan
seksual sebagai konsep utama, mitos akan tubuh dan seksual, ekosistem
digital hingga relasi kuasa yang ia bangun dalam film Fotokopi ini. Namun,
kritik terakhir yang dapat penulis sampaikan adalah Wregas mengesampingkan
objektifikasi perempuan dalam pandangan Male Gaze.
Male Gaze sendiri adalah kondisi di mana perempuan dalam dunia media
dilihat dari sudut pandang laki-laki dan perempuan direpresentasikan
sebagai objek pasif dari hasrat laki-laki. Apakah pandangan ini menjadi
penting untuk menelaah film Fotokopi? Penulis bisa menjawab Iya.
Satu kelemahan yang dapat penulis ambil dari film Fotokopi adalah
bagaimana Rama yang bersifat pengendali dalam memandang
perempuan-perempuan yang menjadi objek penghilang stresnya. Meskipun
Suryani masih memiliki keberanian dalam mencari tahu apa yang terjadi pada
“malam itu” namun perlu diingat bahwa rentanitas tubuh perempuan dan
laki-laki adalah berbeda. Mengapa Wregas harus memfokuskan pada pencarian
diri dan pembuktian diri seorang Suryani daripada rasa ketakutan karena
tubuh Suryani diinterfensi secara paksa oleh seseorang yang bahkan itu
dikenalnya?.
Penulis dapat berpendapat mungkin saja apa yang dimaksud Wregas atau apa
yang digambarkan dari sosok Suryani adalah wanita yang kuat dan tangguh
(atau yang penulis paparkan pada bagian satu). Namun perlu diingat tentang
adanya trauma dan rasa ketakutan yang dialami oleh korban kekerasan,
apalagi bagi seorang perempuan.
Tubuh, Seksual, Digital dan Cahaya adalah empat terminologi yang dapat
menjadi pisau dalam membedah tindak kekerasan seksual. Tubuh sebagai
objek, seksual sebagai nafsu, digital sebagai alat dan cahaya sebagai
pembantu. Para pelaku tindak kekerasan seksual mungkin dan memang akan
selalu denial akan perbuatannya selama ia mempunyai power dan kekuasaan
dalam hidupnya, namun sayangnya kacamata sosial terutama di Indonesia
telah terbuka bahwa kekerasan seksual bukan lagi sebuah isu dan kejahatan
yang kecil.
Pada akhirnya, berbagai sudut pandang nantinya akan lahir dalam memandang konsep kekerasan seksual. Pandangan lain tersebut tidak akan terlepas dari bagaimana zaman dan realitas sosial mengkonstruksi pikiran manusia. Namun catatan terakhir dari penulis adalah, tubuh dan seksual bukanlah “objek” yang dapat dinikmati, namun nafsu batin dan mental yang akan menguasai dan menikmati apa yang disebut dengan kekerasan seksual.
Daftar Pustaka
Buku
Hajir, M. (2020). BIAS GENDER DALAM BUKU TEKS BAHASA INDONESIA SMA
KURIKULUM 2013 EDISI REVISI. Surabaya: Universitas Muhammadiyah.
Ida, R. (2014). Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya.
Surabaya: Prenadamedia Group.
Kelty, C. M. (2018). Hacking the social. Inventing the social,
287-297.
McLuhan, M. (1967). Understanding media: The extensions of man. Sphere
Books.
Jurnal
Al Fiatur Rohmaniah. (2021). Kajian Semiotika Roland Barthes.
Al-Ittishol: Jurnal Komunikasi Dan Penyiaran Islam, 2(2),
124–134. https://doi.org/10.51339/ittishol.v2i2.308
Budiati, A. C. (2010). Aktualisasi Diri Perempuan Dalam Sistem Budaya
Jawa (Persepsi Perempuan terhadap Nilai-nilai Budaya Jawa dalam
Mengaktualisasikan Diri). Pamator, 3(1), 51–59.
Hanipudin, S., & Habibah, Y. A. (2021). Karakter Wanita Dalam Tradisi
Jawa. Studi Islam Dan Budaya, 1(2), 1–16.
Juditha, C. (2015). Gender dan Seksualitas dalam Konstruksi Media Massa.
Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Komunikasi Dan Informatika
(BBPPKI) Makassar Kementerian Komunikasi Dan Informatika RI, 1(1), 6–14.
http://ojs.uma.ac.id/index.php/simbolika/article/view/45
Mudhoffir, A. M. (2013). Teori Kekuasaan Michel Foucault: Tantangan bagi
Sosiologi Politik. MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 18(1),
117–133. https://doi.org/10.7454/mjs.v18i1.3734
Tatarkiewicz, W. (1971). What is art? the problem of definition today.
The British Journal of Aesthetics, 11(2), 134–153.
https://doi.org/10.1093/bjaesthetics/11.2.134
Zaidan, Y. F. (2020). Relasi Tubuh dan Kekuasaan: Kritik Sandra Lee
Bartky terhadap Pemikiran Michel Foucault. JAQFI: Jurnal Aqidah dan
Filsafat Islam, 5(2), 134-153.
Artikel Website
Adiraoktaroza. (2017, November 29).
Movie Review : Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak. Adira
Oktaroza. Retrieved April 6, 2022, from
http://www.adiraoktaroza.com/2017/11/29/movie-review-marlina-si-pembunuh-dalam-empat-babak-2017/
Arya (2022, January 15). Penyalin Cahaya Review. MY DIRT SHEET.
Retrieved April 6, 2022, from https://mydirtsheet.com/2022/01/14/penyalin-cahaya-review/
Amadi, O. (2017, April 30). Art and sexuality. Vanguard News. Retrieved
March 21, 2022, from
https://www.vanguardngr.com/2017/05/art-and-sexuality/
Hertanto, Y. (2021). Imaji Kuasa Digital. Rmol.id. Retrieved March 22,
2022, from
https://publika.rmol.id/read/2021/07/29/498483/imaji-kuasa-digital
LSF. (n.d.). Retrieved Maret 7, 2022, from
https://lsf.go.id/movie/penyalin-cahaya/
Nadeak, F. (n.d.).
Review film: Penyalin Cahaya - cnnindonesia.com. Retrieved April 6,
2022, from
https://cnnindonesia.com/hiburan/20220114193544-220-746905/review-film-penyalin-cahaya
Rodrigues, S., & Splash image: Bodyscape © Alta Oosthuizen from
Shutterstock.com. (2014, December 3). 'sexuality' and art as a Dynamic
Force, PopMatters. PopMatters. Retrieved March 21, 2022, from
https://www.popmatters.com/188100-sexuality-by-amelia-jones-2495591035.html
SINDO, K. (2022, Februari 5). Retrieved Maret 08, 2022, from
https://gensindo.sindonews.com/read/677161/700/6-film-indonesia-tentang-kekerasan-seksual-ada-yang-dari-kisah-nyata-1643997762
Sutanto, F. (2021, November 16). Retrieved Maret 09, 2022, from
https://www.indozone.id/fakta-dan-mitos/4Wskmko/mengenal-cerita-medusa-cerita-wanita-cantik-berambut-ular-yang-mengerikan/read-all
Comments
Post a Comment