Episentrum Magis Tanah Jawa: Yang Keramat Untuk Diamati dari Film Keramat 2
Episentrum Magis Tanah Jawa: Yang Keramat Untuk Diamati dari Film Keramat 2
Penulis: Dimas Ramadhiansyah
Suku Jawa. Menjadi suku dengan jumlah populasi terbanyak di Indonesia. Bagaimana tidak, menyebarnya para penduduk dengan identitas suku Jawa yang tidak hanya terkelompok di dalam pulau Jawa saja, tapi cobalah untuk melancong ke pulau atau kota-kota lain di luar Jawa. Tidak akan pernah kita tidak jumpai mereka yang berasal dari suku Jawa.
Tetapi tersebarnya suku Jawa di belantara kota dan pulau di Indonesia terkadang membuat kalut tentang pikiran “seberapa seringkah kita berhadapan dengan identitas Jawa?”. Bagi saya yang besar dan tinggal di pulau Jawa, spesifiknya di Jawa bagian Timur, kalut perasaan tersebut selalu muncul ketika secara langsung bertemu dengan mereka yang berasal dari Jawa. Apakah pengaruh suku Jawa begitu masifnya? Ataukah hanya sekedar buah pemikiran dari apa yang dilihat sehari-hari?
Kekentalan dan banyaknya telusur seni hingga budaya Jawa inilah yang seringkali diadaptasikan ke dalam sebuah karya film. Kita cukup sering melihat bagaimana adat dan kepercayaan orang Jawa dijadikan sebagai sebuah ide cerita, latar hingga tema besar. Sebut saja beberapa film seperti Yowis Ben (2018) yang mengambil sudut Jawa Timuran, mulai dari latar hingga pemilihan bahasa dialog. Kartini (2017) yang mengangkat kisah Raden Ajeng Kartini yang masih kental dengan adat dan tradisi Jawa bagian Tengah. Atau film Dilan 1990 (2018) sebagai satu representasi kekhasan kehidupan masyarakat Jawa bagian Barat.
Bukan sebagai bentuk hegemoni Kejawaan yang melanda produksi film di Indonesia. Berkaca pada era Orde Baru ketika semua pembangunan berfokus pada pulau Jawa. Hal ini meninggalkan peran peradaban maju yang berpusat di pulau Jawa. Tetapi, salah satu bentuk eksklusivitas dari pulau Jawa ketika berlomba menjadi peradaban yang maju adalah tidak serta mertanya adat dan budaya ditinggalkan begitu saja.
Apabila ditelisik, kebanyakan unsur-unsur budaya Jawa tersebut berkutat pada hal-hal berbau mistis, magis dan spiritual. Tradisi-tradisi berbau magis dan mistis ini memiliki kaitan erat dengan apa yang disebut sebagai "Kejawen", sebuah bentuk spiritualitas yang menggabungkan unsur-unsur dari kepercayaan Hindu, Buddha, dan Islam dengan kearifan lokal Jawa. Kejawen bukan hanya suatu pemahaman keagamaan, tetapi lebih merupakan filosofi hidup yang merangkul harmoni dengan alam semesta dan mengakui keberadaan roh-roh yang menghuni dunia ini.
Kecenderungan yang kita pahami cenderung tidak utuh bahwa istilah kejawen dianggap sebagai sebuah aliran dan kegiatan yang berbau mistis dan bersifat gaib. Kejawen merupakan peleburan antara Islam dan kepercayaan dari budaya tradisional Jawa yang telah melekat sejak ratusan tahun di masyarakat Jawa. Layaknya setiap kepercayaan, kejawen juga memiliki banyak nilai dan ajaran kebaikan yang perlu diamalkan penganutnya. Hal ini pada akhirnya mencoba untuk ditelusuri kembali yang dapat dilihat melalui film Keramat 2 : Caruban Larang (2022).
Film Keramat 2 : Caruban Larang (atau saya akan menyebut dalam tulisan ini Keramat 2 saja) adalah film horor mokumenter yang menjadi sekuel dari film pertamanya, Keramat (2009). Keramat 2 masih disutradarai oleh Monty Tiwa, sebagai sutradara yang sama dengan film pertamanya. Keramat 2 tidak meninggalkan kesan otentiknya sebagai film yang menjaga imaji kita bahwa mereka adalah ‘dokumenter-asli’ meskipun kita tahu apa yang di layar itu hanya sebuah film yang bentuknya dokumenter, sementara dari jalan ceritanya adalah fiksi.
Keramat 2 masih mengambil cerita perjalanan dokumenter sekumpulan anak muda yang akan berangkat ke Cirebon untuk melakukan sebuah proyek. Umay (Umay Shahab) setuju untuk membantu Ajil (Ajil Ditto) dan Keanu (Keanu Angelo) dalam menghidupkan kembali kanal YouTube misteri mereka.
Di sisi lain, Arla (Arla Ailani), Jojo (Josephine Firmstone), dan Maura (Maura Gabrielle) memiliki tujuan untuk melakukan riset tugas akhir mereka. Mereka meminta Umay untuk merekam perjalanan mereka. Namun, konflik muncul ketika mereka bertemu dengan Lutesha (Lutesha), seorang teman lama. Lutesha memberikan peringatan agar mereka kembali ke Jakarta, tetapi justru memunculkan masalah baru bagi mereka.
Jalan cerita yang dihiasi oleh ragam latar budaya Jawa dalam Keramat 2 ini membuat imaji-imaji pemahaman kita terhadap budaya akhirnya merujuk pada sikap skeptis dalam menilai ataupun memandang suatu budaya dalam masyarakat. Seringnya, banyak produksi-produksi film Indonesia menempatkan entitas Kejawen ini memang mayoritas dalam sudut pandang magis dan mistis kedalam gawe seni seperti musik ataupun tarian. Dan mungkin hal itu serupa dengan Monty Tiwa yang tetap membawanya ke dalam Keramat 2.
Menjadikannya sebagai episentris dari banyaknya film-film utamanya bergenre Horor dalam mengangkat tanah Jawa, sekelebat pikiran pun muncul menanggapinya. Bagaimana secara sadar kita menanggapi suatu kekentalan ini?
Yang Keramat : Magis dan Mistis
Banyak referensi ketika membahas tentang apa itu kejawen. Kejawen adalah sebuah konsep spiritual dan filsafat yang berasal dari Jawa, Indonesia. Kejawen menekankan pada pemahaman dan pengalaman pribadi dalam mencapai keselarasan dengan alam, Tuhan, dan diri sendiri. Ini melibatkan pengenalan dan pengembangan kesadaran spiritual, pencapaian kesempurnaan batin, dan kehidupan yang harmonis dengan alam semesta.
Keramat 2 memberikan pemaknaan kejawen sebagai kearifan lokal yang dibentuk melalui ajaran seni berupa tari dan praktik spiritual. Pada perjalanan awal film ini, Ute mengalami kejadian “kerasukan” atau biasa kita sebut sebagai kesurupan atau ketempelan.
Gambar 1. Ute (Lutesha) yang mengalami kejadian kerasukan
(Sumber : Keramat 2 - Caruban Larang)
Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, permainan akan mistis memiliki makna yang bertujuan pada rasa “tentrem ing manah” (damai dalam hati). Umumnya, mereka berharap pada kedamaian, ketenangan, dan ketentraman yang dipusatkan pada emosi dan perasaan.
Para mistikus Jawa memandang diri mereka sebagai representasi dari sebuah komitmen spiritual yang tak beruang-waktu. Mereka yakin akar tradisi mereka menghujam dalam asal-usul identitas etnis Jawa yang sepanjang sejarah terus mengalami tekanan dari kekuatan yang berasal dari luar dan telah mendominasi mereka. Stange, D. P. (2008). Kejawen Modern: Hakikat dalam Penghayatan Sumarah. In LKiS (Vol. 1).
Menyoroti apa yang terjadi dan dimiliki oleh Ute sebagai kepercayaan indra keenam, sebagian besar orang dalam masyarakat Jawa akan mengilhaminya kedalam sebuah turunan atau tradisi dari leluhur mereka. Mereka dapat digunakan sebagai perantara antara dunia manusia dan alam spiritual, membantu orang-orang dalam mengatasi masalah, memprediksi masa depan, atau menyembuhkan penyakit secara holistik.
Depth of field pada gambar 1 mencoba memusatkan pada gaya medium dengan latar yang dibuat efek bokeh memang memberikan penguatan pada karakter indigo seorang Ute dengan tindakan, ekspresi, dan ucapan yang dibangun, melalui dialog Ute “Tigo tiang mboten wilujeng” yang berarti tiga orang tidak akan selamat.
Orang yang dipercaya memiliki indra keenam atau sifat indigo dalam masyarakat Jawa sering dihormati dan dianggap memiliki peran khusus. Mereka dapat berfungsi sebagai dukun atau berbagai peran spiritual lainnya. Masyarakat Jawa meyakini bahwa orang-orang dengan kemampuan indra keenam ini dapat membantu mereka dalam menghadapi tantangan hidup, mengobati penyakit, atau memberikan petunjuk dalam mengambil keputusan penting.
Mungkin depth of field semacam sering kita jumpai di ranah film-film horor lain. Seringnya mata kita menangkap momen ini ketika beberapa adegan dalam film memfokuskan pada karakter utama atau misal saja dalam film horor ketika sosok hantu atau kegiatan mistis dilakukan dan dimunculkan. Misal film-film barat seperti The Conjuring Universe yang kerap menggunakan metode ini ketika hantu utama muncul. Atau dalam film Indonesia lainnya seperti Asih.
Berhasilnya, penggunaan fokus seperti ini memang dapat membangun sisi psikologis kita dalam menangkap momen tersebut. Bisa menimbulkan perasaan takut hingga yang paling minimum adalah merinding.
Dalam kain budaya Jawa, ada kalanya kita menemukan rahasia-rahasia mistis yang memancarkan pesona magis melalui sebuah entitas seni tarian yang lembut, seni pertunjukan yang memesona, dan ritual-ritual yang menghubungkan dunia manusia dengan alam spiritual. Tidak terlepaskan dari Keramat 2, subjek tarian masih menjadi latar dominasi utama dalam plot ceritanya.
Gambar 2. Tari Topeng Samba Cirebon dalam scene Film Keramat 2
(Sumber : Keramat 2 - Caruban Larang)
Tari Topeng Samba Cirebon menjadi gerbang awal plot magis dalam Keramat 2. Mungkin bagi sebagian besar mata kita menilai tari-tarian banyak mengandung unsur-unsur mistis. Memang ada sebuah mitos yang berkembang. Ada yang menyebut perlunya ritual suci sebelum dan sesudah menari, para penari yang tidak boleh sembarangan hingga dianggap sebagai penghubung penari dengan roh-roh leluhur. Kesannya dalam Keramat 2 ini demikian. Kita anggap saja Tari Topeng Samba tersebut sebagai bahan awal penghubung penari dengan roh-roh leluhur. Hingga pengembangan alur film ini pun, entitas utama Maura dan timnya adalah mencari The Lost Dance.
Ketika sebuah kotak di dalam padepokan yang awalnya dilarang untuk dibuka namun dengan tidak sengaja dibuka, ditemukan artefak-artefak peninggalan The Lost Dance. Saya Pun sedikit mengingat film yang juga baru-baru ini menuai banyak perbincangan, KKN Di Desa Penari. Kelat bahu hingga selendang penari menjadi penanda bagaimana pintu astral yang membuka antara dua dunia. Begitu Pula kotak yang dibuka di padepokan, berisi foto-foto, selendang, hingga pakaian tari.
Gambar 3. Arla ketika dirasuki arwah pemain The Lost Dance
(Sumber : Keramat 2 - Caruban Larang)
Dalam dunia seni tari, ada hal-hal seperti topeng, selendang, dan kelat yang ternyata mengandung pesan-pesan yang lebih dalam daripada sekadar bentuk fisiknya. Lebih dari sekadar menjadi tambahan visual, properti-properti ini menghantarkan pesan yang membawa dalamnya nilai-nilai budaya, spiritualitas, dan bahkan hubungan dengan hal-hal gaib.
Topeng, misalnya, merupakan salah satu elemen yang kerap dihadirkan dalam seni tari sebagai atribut utama. Topeng bukan sekadar perlengkapan, tapi lebih lagi, ia memiliki peran yang mendalam dalam menggambarkan karakter dan suasana. Kita melihat bahwa setiap topeng sebenarnya mencerminkan karakter yang beragam, mungkin tokoh leluhur, dewa, atau bahkan makhluk-makhluk tak terlihat. Ekspresi dan gerakan setiap topeng membawa pesan berbeda, mengingatkan kita akan kerumitan karakter dalam budaya Jawa yang seringkali terdiri dari berbagai dimensi.
Selendang, alat yang sering digunakan dalam tari, juga memiliki arti yang lebih dalam. Meskipun pada awalnya tampak hanya sebagai penghias gerakan, selendang sesungguhnya memiliki arti yang lebih mendalam. Beberapa tradisi tari Jawa mengartikan selendang sebagai simbol penghubung antara dunia manusia dan dunia roh. Gerakan tarian yang mengikutsertakan selendang diartikan sebagai gerakan yang menciptakan hubungan antara kedua dunia ini. Dalam dunia film dan tari mistis, selendang sering digunakan sebagai lambang pintu atau jalan masuk antara dunia manusia dan dunia gaib.
Kelat, yang merupakan seutas kain panjang yang dililitkan pada tubuh penari, juga memiliki peran penting dalam menghubungkan penari dengan dimensi mistis. Dalam banyak tarian mistis Jawa, kelat dianggap sebagai alat untuk menciptakan jembatan dengan roh-roh atau entitas gaib. Cara kelat dililitkan pada tubuh penari menciptakan hubungan yang dekat antara tubuh dan dunia gaib. Ini memungkinkan penari menjadi perantara atau medium dalam komunikasi antara dunia nyata dan alam mistis.
Semua ini membawa kita pada pemahaman bahwa properti tari dalam film bukan hanya hiasan, tapi memiliki nilai budaya dan spiritual yang dalam. Mereka menciptakan jembatan antara dunia nyata dan dunia mistis dalam cerita, dan secara tak langsung mengakui makna yang ada dalam seni tari serta warisan budaya yang melekat padanya.
Dan kondisi itulah yang digarap oleh Monty Tiwa dalam Keramat 2 ini. Walaupun mungkin terlihat tradisional, pada tingkat psikologis, elemen-elemen ini adalah yang memicu pemikiran inti kita mengenai bagaimana seni tari tidak hanya menyampaikan pesan visual, tetapi juga nilai-nilai yang mendalam tentang warisan budaya, makna spiritual, dan hubungan dengan dunia tak kasat mata.
Tentu hal itu tidak hanya berakhir begitu saja. Monty Tiwa masih melekatkan dunia tak kasat mata dengan kehadiran dunia astral sebagai jalan menjemput jiwa Maura.
Gambar 4. Ute dan Teman-Temannya ketika melakukan ritual kubur diri
(Sumber : Keramat 2 - Caruban Larang)
Dalam masyarakat Jawa dan Kejawen, kepercayaan animisme dan dinamisme tumbuh sebagai akar kuat yang meresapi budaya dan kehidupan sehari-hari. Animisme mengacu pada pandangan bahwa segala benda, baik benda hidup maupun mati, memiliki roh atau semangat yang mempengaruhi dunia fisik dan spiritual. Dinamisme, di sisi lain, melibatkan keyakinan pada adanya kekuatan supranatural yang mendominasi alam semesta dan bisa dimanfaatkan atau dihormati melalui ritual-ritual tertentu.
Ritual-ritual menjadi sarana untuk menjaga keseimbangan dan harmoni antara dunia fisik dan dunia gaib. Ritual-ritual ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Mulai dari ritual sebelum bercocok tanam, merayakan panen, hingga perayaan kelahiran dan kematian, semua memiliki elemen spiritual yang melibatkan interaksi dengan roh-roh dan entitas supranatural.
Kita sering kali disajikan melalui film-film horor yang mengambil framing praktek supranatural seperti masuk ke dunia lain hingga praktik eksorsisme. Dalam film, adegan masuk ke dunia lain sering kali dihadirkan dengan elemen visual, efek khusus, dan nada audio yang menciptakan suasana yang misterius, gelap, atau aneh. Adegan semacam ini dapat membawa penonton ke dalam pengalaman yang menggetarkan, mendalam, atau bahkan menyeramkan. Beberapa film menggunakan elemen surrealisme atau representasi simbolis untuk menyampaikan pengalaman masuk ke dunia lain yang berbeda dari realitas sehari-hari.
Acap kali kita jumpai praktik ini melalui berbagai macam medium, umumnya kalau menganalogikan, banyak film horor, terutama yang berasal dari Barat, sering menggunakan elemen-elemen visual yang intens dan efek khusus yang canggih untuk menciptakan suasana yang sangat gelap, misterius, dan aneh. Dengan suara-suara yang merayap di telinga kita dan pergerakan kamera yang menggetarkan, kita seperti diundang untuk merasakan langsung sensasi ketakutan dan ketegangan yang terjadi di layar.
Tetapi berkaca pada film lokal kita, pendekatan yang mungkin lebih berakar pada budaya setempat, film-film horor Indonesia juga membangun suasana yang mencekam dengan memasukkan elemen-elemen supranatural dengan memberikan riuh penggambaran yang diwarnai dengan sentuhan budaya lokal yang memberikan kekhasan tersendiri.
Dan kembali. Inilah yang dibangun oleh Monty Tiwa. Kalau film-film seperti sebut saja Danur misalnya yang melalui musik dan bantuan entitas gaib, protagonis dapat masuk ke dunia lain, namun di Keramat 2 ini sentuhan mistik kelokalan dengan menguburkan diri untuk masuk ke dunia lain. Usaha inilah yang dibawa dengan mengeksplorasi kepercayaan lokal, mitos, dan budaya lokal. Melalui penggambaran supranatural yang berakar pada budaya setempat, film-film horor Indonesia memberikan nuansa yang lebih dekat dan personal kepada penonton, karena mereka dapat mengenali elemen-elemen budaya yang dihadirkan dalam cerita.
Efeknya sebagai penonton, kegiatan mengubur diri ini sangatlah intens membuat psikis sedikit gundah. Tentu dengan titel sebagai masyarakat Indonesia dan tinggal di pulau Jawa yang notabene banyak dari kerabat, saudara, hingga turun temurun kita yang dikubur ketika meninggal dunia. Kesan dalam ini sangat berhasil dibawa oleh Monty Tiwa.
Gambar 5. Dimensi atau dunia lain yang dimasuki Ute dan teman-teman
(Sumber : Keramat 2 - Caruban Larang)
Susur jalanan dunia gaib diimajikan dalam remang-remang hutan. Mungkin akan sedikit timbul pertanyaan dari yang awalnya berawal dari halaman rumah menjadi hutan belantara. Secara ilmiah, pandangan ini bisa dijelaskan sebagai manifestasi dari efek psikologis dan neurologis yang terjadi ketika kita berhadapan dengan lingkungan yang tak terbiasa atau misterius. Imajinasi kita cenderung mengisi celah-celah pengetahuan kita dengan asumsi-asumsi yang mungkin didasarkan pada keyakinan budaya atau pengalaman pribadi. Dalam konteks ini, hutan yang dianggap sebagai tempat gaib bisa menjadi wujud dari imajinasi yang digerakkan oleh perasaan ketidakpastian dan rasa ingin tahu.
Tetapi dalam kajian metafisik, memang gambaran dunia yang bukan dunia nyata tidak terbatas pada ruang dan waktu. Tentu kita sering dipertontonkan juga dengan dunia-dunia lain ketika beberapa film horor menampilkan adegan supranatural yang mana sedikit berbeda dengan dunia nyata tempat kita tinggal. Di Indonesia sendiri atau terutama saya yang tinggal di Jawa, acap kali pula sering didongengkan mitos bahwa apa yang kita lihat di dunia nyata akan berbeda di dunia atau dimensi lain.
Hingga dipertemukannya 3 pemain dari sekuel pertamanya, Poppy, Migi dan Sadha. Crossover ini cukup menarik lantaran sebagai penonton dari Keramat 1 tentu tanda tanya akhir film pertamanya sedikit terjawab. Meskipun pada akhirnya sedikit disesalkan banyaknya adegan-adegan screaming yang tidak diperlukan.
Kita seolah-olah diundang untuk merenungkan tentang batasan-batasan realitas yang mungkin lebih kompleks daripada yang kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan seperti mesin waktu yang mungkin kita dapat memilih kapan, kemana, dan dimana kita akan pergi.
Mungkin, dan mungkin. Sebuah tersirat pesan dibangun. Memberikan kesempatan kita untuk menggali makna-makna yang lebih dalam tentang eksistensi dalam hubungan dengan dunia yang luas dan kompleks ini.
Untuk Diamati : Tanah Jawa
Dalam masyarakat modern, hal-hal ini menjadi penting untuk dipahami dan diapresiasi, mengingat hubungan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan yang dapat diungkapkan melalui seni dan budaya. Kekhasan Tanah Jawa dan kekuatan unsur-unsur magis sering dijadikan ide utama dalam film-film horor Indonesia karena mengakar dalam budaya dan kepercayaan masyarakat. Pulau Jawa, dengan warisan budaya dan tradisi mistis yang kaya, memberikan latar belakang yang sangat kuat bagi cerita-cerita horor.
Kepercayaan pada roh-roh nenek moyang, makhluk gaib, dan ritual-ritual spiritual menciptakan suasana yang unik dan misterius yang sangat cocok untuk film horor. Oleh karena itu, saat elemen-elemen ini diangkat dalam film horor, penonton merasa dekat dan terhubung dengan cerita, karena mereka mengenalnya dari kisah-kisah yang beredar di sekitar mereka.
Tropes film horor di Indonesia telah mengalami evolusi dari sekadar jumpscare hingga menggali lebih dalam aspek-aspek spiritual dan mistis. Ini sejalan dengan makin beragamnya tontonan yang dicari oleh penonton modern yang lebih kritis dan menuntut. Dalam film-film horor terbaru, kita biasa melihat penggunaan efek-efek khusus yang lebih canggih untuk menghadirkan entitas-entitas supranatural dengan lebih nyata dan menakutkan.
Bahkan, film-film horor saat ini lebih berani dalam merangkul kekayaan budaya Indonesia, dengan penggambaran yang lebih ekspresif tentang praktik-praktik spiritual dan ritual. Ini seringkali diwujudkan dalam penggunaan mantra-mantra kuno, penyembahan kepada entitas gaib, atau bahkan visualisasi yang lebih dramatis dari dunia gaib. Penonton sekarang disuguhkan dengan pengalaman yang lebih intens dan mendalam tentang hubungan antara dunia manusia dan dunia gaib.
Pada akhirnya, pemaknaan Magis Tanah Jawa tidak hanya ada pada aspek budaya atau kepercayaan semata, melainkan juga berasal dari interpretasi dan partisipasi aktif kita sebagai manusia. Anggaplah sebagai suatu kompleksitas yang mencerminkan keberagaman budaya, sejarah, dan kepercayaan yang ada, namun makna sebenarnya dari konsep ini akan diambil dan dibentuk oleh kita sendiri, sebagai individu yang menjalani kehidupan di tengah-tengah realitas ini.
Ketika kita memahami bahwa makna sesungguhnya ada dalam penafsiran kita terhadap dunia di sekitar kita, kita mengakui bahwa kekayaan budaya dan kepercayaan hanya memiliki arti ketika kita memberi makna padanya. Hal ini berkaitan erat dengan gagasan bahwa tidak ada yang keramat dalam makna harfiah, melainkan adalah pengalaman hidup kita yang perlu diamati.
Meskipun memiliki kekayaan budaya dan tradisi yang khas, bukanlah suatu entitas yang secara inheren dianggap keramat. Konsep keramat seringkali terkait dengan pandangan bahwa suatu hal memiliki nilai yang luar biasa atau ilahi dan ditempatkan pada hal-hal yang dianggap memiliki nilai yang tinggi dan luar biasa. Namun, dalam perspektif yang lebih dalam, apa yang memang benar-benar penting dan sakral adalah kehidupan kita sendiri. Itulah yang harus kita amati, renungkan, dan hargai sebagai bagian yang tak tergantikan dari perjalanan kita dalam mengenali dan menghormati warisan budaya kita.
Ketika kita menggali makna dari konsep keramat, kita menemukan bahwa nilai sejati terletak pada kehidupan kita sehari-hari. Tanah Jawa, meskipun kaya akan budaya dan tradisi, tidak memiliki sifat yang inheren membuatnya menjadi sesuatu yang keramat. Sebagai manusia, kita memiliki kemampuan untuk memberikan makna dan nilai pada segala hal di sekitar kita, termasuk tanah tempat kita tinggal. Keindahan dan nilai yang ada dalam budaya, sejarah, dan kepercayaan di Tanah Jawa berasal dari interpretasi dan penghargaan kita terhadapnya. Dan itulah yang secara tidak sadar kita dapatkan lewat Keramat 2.
Seni, tarian, musik, dan gamelan. Toh bolehlah banyak yang akan bilang kuno. Tetapi jika bukan kita yang meneruskannya, bukan kita yang mempelajari, hingga bukan kita yang bergerak siapa lagi yang akan menjaganya?
Setiap individu memiliki peran dalam membentuk makna dan nilai dalam kehidupan sehari-hari. Kita memiliki kebebasan untuk memahami, menghormati, dan menghargai warisan budaya kita sesuai dengan pandangan dan pengalaman kita. Tetapi bukan berarti kita terbebas dari warisan tersebut. Kalau suci dan berharga adalah kehidupan kita sendiri, maka patutlah kita menghormati warisan budaya. Dan dengan memahami hal ini, kita dapat merenungkan nilai yang sejati dalam perjalanan kita sebagai manusia.
Comments
Post a Comment